'Ada Rasa'

2.6K 219 17
                                    

Pov. Humaira / Ira.

"Bagaimana hasilnya, Dok?" Wanita cantik berhati iblis itu bertanya, mengenai hasil test kesehatanku, apakah aku positif HIV, atau tidak.

Ya, wanita itu adalah Mamih, seorang mucikari kelas kakap yang telah menjadikanku peliharaan nya.
Rencananya, Mamih akan menjualku kepada Bara, jika ternyata hasil test mengatakan jika diriku positif HIV.

Miris, bukan?
Entah harus berharap bagaimana, bagaikan buah simalakama.
Jika aku negatif, aku kembali bekerja pada Mamih, dan melanjutkan kontrak kerja ku, melayani pria tua hidung belang itu, lagi.
Tapi jika aku ingin bebas, aku terjerat dalam sebuah penyakit, lebih tepatnya virus, yang tak ada satupun manusia di dunia ini mau menerimanya, ialah HIV.

'Ya Tuhan ... jika memang aku harus terjangkit virus HIV, aku akan belajar menerimanya, yang terpenting ialah keluar dari lingkaran setan yang terkutuk itu dulu, aku sungguh sudah tak kuat menjalani semua ini.
Aku ingin taubat dan membenahi diri, atas semua dosa yang tak pernah ingin kulakukan sebelumnya'
Menangis ku dalam hati.

"Mohon maaf, sepertinya kabar ini terdengar kurang baik ...."
Ucap dokter wanita yang bertugas saat itu, Dokter Rina.

Beruntungnya, hari ini Anton libur tugas, sehingga ia tidak mengetahui hal ini.

"Kenapa, Dok? Katakan saja."
Bara, yang selalu setia menemaniku, ikut penasaran mendengar hasilnya.

"Pasien ... dinyatakan positif HIV."

Deg!

Mengucur deras air mataku, entah perasaan bahagia atau sedih ....

Akhirnya, aku bisa lepas dari Mamih dan seluruh antek-anteknya.
Tapi ... apakah Bara memang orang yang baik?
Sedang kita baru kenal, Bara sudah melakukan hal yang besar untukku.
Ia rela mengeluarkan uang ratusan juta untuk dapat membebaskanku.

"Ibu harus tenang, saya juga turut berduka, atas kabar yang menimpa Ibu, Ibu akan mendapatkan Terapi Antiretroviral, atau biasa disebut ART.
ART itu sendiri, memanglah tidak dapat menyembuhkan, tetapi bisa membantu pasien  HIV agar dapat hidup lebih lama dan lebih sehat. Selain itu, ART juga membantu mengurangi risiko penularan HIV. Untuk lebih jelasnya, pihak keluarga terdekat boleh ikut ke ruangan saya," jelas Dokter Rina.

"Baik, Dok. Saya akan menyusul ke ruangan dokter," ujar Bara.

"Oke, yasudah. Kebetulan sekali sayapun harus ke ruangan lain terlebih dahulu, nanti Bapak bisa ke ruangan saya pada saat jam istirahat saja, minta antar ke suster di sini. Baiklah, semoga kesehatan Bu Ira lekas membaik, ya! Selamat siang." pamit Dokter Rina, dan pergi meninggalkan kami.

Aku masih menangis terisak diatas ranjang pasien, ditemani Bara dan Mamih, yang masih sedikit shock, karena harus kehilangan seorang peliharaan nya, otomatis ia harus segera mencari budak perawan baru, sebagai penggantiku.

"Bagaimana, Mamih?" suara Bara memecahkan kesunyian.

"Baiklah, silakan datang ke tempatku besok, jangan lupa bawa uangnya."

"Kau sepertinya yakin sekali jika aku mau membeli Humaira?"

"Apa maksudmu, Bara?" kaget, ku mendengar Bara berkata demikian.

'Apakah aku harus kembali menjadi budak seksnya Mamih? Ya Tuhan ....'

"Mana ada pria yang mau bercinta  dengan wanita yang positif HIV? Dasar, bodoh!"

Aku semakin tercekat!
Mukaku memerah, malu, marah, semua jadi satu, tapi aku memilih diam tak bersuara.
Hanya air mata yang mewakili perasaanku saat ini.

'Aku telah hancur ....'

"Apa maksudmu, anak muda? Kau sendiri yang bersih keras untuk mendapatkan Humaira, kan? Mengapa sekarang berubah?" tanya Mamih, seraya terperanjat dari duduknya.

HumairakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang