Pov. Humaira
Masih di tempat yang sama, kasur yang sama, suasana yang sama, aku membuka kedua netraku perlahan, memandang langit-langit kamar inapku, selama di rumah sakit ini.
'Terimakasih, Tuhan. Atas nikmat yang masih engkau berikan kepadku'
"Sudah bangun?"
Aku terperanjat, mendengar suara Pria yang berasal dari sebelahku.
"Anton? Sedang apa kau di sini? Bukankah kau tak ada jadwal tugas hari ini? Sejak kapan kau memandangiku tidur? Gak sopan!"
Mendengar sederet pertanyaanku, Anton malah tersenyum. Terlihat ia sangat bahagia, membuat pancaran wajahnya begitu mempesona, tampan sekali.
"Anton? Ih, ditanya malah senyum-senyum ...!"
Ocehku kembali."Ikutlah denganku,"
"Ikut? Kemana?" tanyaku.
"Keliling-keliling rumah sakit ini." Anton menjawab, sembari menjulurkan tangan kanannya.
"Eh, enggak ah. Sebentar lagi Bara datang menjemputku."
"Sebentar saja, ayo!"
Anton menarik lenganku, dan menggenggamnya tanpa basa-basi.Aku berjalan mengelilingi setiap detail rumah sakit, bersama Anton.
Entah apa tujuan ia mengajakku berkeliling di tempat ini."Hari ini kau akan pulang, aku ingin mempunyai kenangan indah bersamamu."
'Kenangan indah?'
"Sengaja aku membawamu mengelilingi rumah sakit ini, biar setiap sudut yang kita pandang, seinchi lantai yang kita pijak, menjadi saksi, bahwa aku telah memperkenalkan wanita yang aku cintai kepada bangunan ini. Hingga jika suatu saat nanti aku benar-benar tak bisa mendapatkanmu ... lantai ini ... dinding ini ... akan menyimpan semua memory tentang kita. Tentang ketulusan cintaku padamu, Huma,"
Begitu manis kata demi kata yang Anton lontarkan kepadaku, membuat aku merasakan kembali perasaan beberapa tahun yang silam.
"Tapi ... kita tidak akan pernah bisa bersama lagi seperti dahulu," lirihku, sembari melepaskan genggaman lengan Anton.
Ya! Sejak kecil aku selalu bersamanya, hingga ia menjadi satu-satunya orang yang sangat mengerti aku, menjadi pengganti mataku saat dimana aku tak bisa melihat masa depan, setelah kepergian Ibuku, dilanjut dengan Ayahku, Antonlah, yang menjadi kaki, dimana aku memijakkan kaki-kaki kecilku, menuntunku ke arah yang disebut impian ... menemaniku ... menjadi separuh bagian dari cerita kehidupanku.
Bahkan ... jika aku tak bisa bercerita suatu hal kepada Ayah dan Ibuku, tentang kegusaran hati, tentang mimpi yang kuharapkan, tentang amarah-amarah atas kesalahanku, tentang semua hal dari yang terkecil sampai hal terbesar, kepada Anton lah aku bisa meluapkannya dengan tenang.
Karena ia ... mampu menjadi telinga untukku ... menjadi teman hidupku ....'Ah ... andai aku bukanlah seorang pelacur ....'
Anton menatap lekat kesedihanku, ia kembali meraih lenganku, kali ini ... begitu erat sekali.
Seakan ia berkata dan yakin, bahwa kita masih bisa untuk bersama.Kedua lengan kami saling bergenggaman, berjalan, bercerita, tertawa, indah sekali ... sampai tak terasa kami telah kembali di ruangan tempatku beristirahat, opname.
"Bagaimana? Kau senang?"
Anton membenahi poniku.Aku mengangguk dan tersenyum bahagia.
"Terimakasih, sudah repot-repot menghiburku.
Jujur, aku bosan berada di sini. Tapi aku senang, tak lama lagi, Bara akan datang menjemputku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Humairaku
Tiểu Thuyết Chungaku hanya bisa merutuki takdirku, mencaci Tuhanku, mengapa semua terjadi seperti ini...? masa depanku hancur, impianku telah sirna ....