'Berbeda'

2.5K 252 18
                                    

Tak terasa Anton menggenggam lengan Leona cukup lama.
Tentulah ia 'gengsi' dan langsung melepaskan genggamannya setelah ia menyadari hal itu.

"So-- sorrry." ujar Anton kikuk. Disambut tawa kecil Leona yang amat membuatnya semakin terlihat cantik.

"Ekhm! Oke, mulai sekarang kamu harus lebih berusaha keras untuk menarik hatiku, karena aku orangnya susah move on lho." celoteh Anton dengan lengan kanan mengusap keningnya yang mulai berkeringat.

"Ckckck, so banget kamu Anton. Emangnya aku cewek apakah?"

"Lho? Ya iya dong. Kan tadi kamu yang bilang barusan, kamu gak bakal biarin aku sendiri. Iya kan?"

"Hm, aku? Sendiri? Bukannya kamu juga ikut bilang gitu, ya?"

"Ah, enggak tuh. Aku gak ngerasa. Kamu salah denger kali ...." Anton sengaja berkelit demi mempertahankan gengsinya. Sementara Leona lebih menunjukkan kedewasaannya, iya tetap tersenyum menanggapi pernyataan tunangannya itu.

"Bagaimana keadaan Huma?" tanya Leona.

"Entahlah, aku masih memberinya ruang untuk sendiri. Aku tak ingin mengganggunya dulu." jawab Anton.

"Begitu, ya? Semoga keceriaan Huma segera kembali seperti sedia kala."

"Akupun menginginkan begitu. Bagaimana dengan Bara?" selidik Anton dengan penuh rasa penasarannya.

"Gimana apanya?"

"Apa menurutmu ... Bara benar-benar mencintai Humaira?" tanya Anton kembali.

"Menurutku iya. Bara adalah laki-laki yang tidak mudah menambatkan hatinya pada sembarang wanita.
Jika Huma adalah pilihannya, itu berarti dia memang wanita yang sempurna. Dan ... jika Bara telah menyimpan hatinya untuk seorang wanita, ia tak akan pernah menyerah mengejar wanita itu, sampai wanita itu benar-benar pergi meninggalkan nya, seperti--"

"Seperti kamu?" Anton memotong pembicaraan Leona dengan kalimat yang sangat sensitif, sehingga membuat Leona tertunduk. "i'm so sorry. Tapi aku benar-benar ingin bertanya, mengapa kau meninggalkan pria sebaik Bara? So ... menurut penjelasanmu tadi, dia cukup dibilang oke sih, meski lebih 'oke'an aku, ya!" Kembali tawa Leona terdengar begitu renyah kala Anton berusaha menghiburnya dengan perkataan yang super duper nyebelinnya itu.

"Ckckck. Kalo aku boleh jujur sih, ya. Kalo boleh jujur ... Bara jaaauh lebih baik dari kamu, tau." ejek Leona.

Mendengar pernyataan tunangannya itu, Anton tak terima dan merasa sedikit gerah. Meski ternyata dia sedang bercanda.

"Gak bisa gitu, lah ... tetep oke'an aku lho, coba liat. Ganteng? gantengan aku. Keren? Keren'an aku?"

"Gantengan kamu, keren'an kamu, buat apa kalo Huma tetep milih Bara? Itu artinya ... kamu kalah oke sama Bara. Realistis lah, ckckck."

"Itu lagi yang dibahas. Udah ah. Gak asyik." Anton menenggak habis kopinya.

"Thanks, ya! Ternyata kamu heboh juga orangnya." ujar Leona.

"Sama-sama." jawab Anton dengan senyum.

***

Pagi telah tiba. Tampak Humaira masih enggan terbangun dari kasurnya.
Tak ada semangat untuk menyambut sang mentari, meski sorotnya telah menembus kaca kamar kost Humaira.

Dibukanya sebuah pesan Wattshap di ponselnya.

[Pagi, Huma. Apa kabar? Jangan terlalu berlama-lama murungnya. Aku benci. Keluarlah! Aku ada di depan]

Sontak Humaira berlonjak dari tempat tidurnya, dan berlari ke luar rumah.
Benar saja, seorang dokter pria konyol sahabatnya itu tengah berdiri di samping sepeda nya dan melambaikan tangan. Tak lupa handuk pendek yang tersampai di pundaknya.

HumairakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang