Pov. Humaira.
Kepalaku terasa sakit, dadaku sesak, badanku lemas gemetar. Sepertinya aku lumayan lama tidak sadarkan diri.
Perlahan, kubuka dan kukerjapkan mataku berkali-kali. Melihat dan memperhatikan setiap detail sudut ruangan ini.'Dimana aku?'
Tubuhku terbaring di atas kasur besar nan empuk. Di sudut jendela kamar, kulihat sosok pria bertubuh tegap yang sangat kukenali sedang memegang ponselnya dan berbicara membelakangiku, suaranya pelan sekali, sampai aku tak bisa mendengarkan pembicaraannya. Namun sepertinya sangatlah penting. Berkali-kali ia mengusap wajahnya dengan kasar dan menarik nafas dalam-dalam.
"Ada apa, Mas?" Tanyaku memberanikan diri.
"Alhamdulillahirobbil'Alamin, Ira. Kamu sudah baik'an, sayang?" Jawab Bara, bertanya balik kepadaku. Dengan sigap ia mengantongi ponselnya dan menghampiriku. Tangannya yang besar membelai dan mengusap kening serta rambutku. Nampak sekali kasih sayangnya yang begitu besar terhadapku.
Bara membantuku untuk beranjak duduk, "minum yang banyak, sayang. Badanmu sedikit demam," ujarnya.
"Terimakasih, Mas."
Kuminum segelas air yang Bara sodorkan kepadaku. "Ada apa?" Netraku masih memandang wajahnya yang penuh dengan kekhawatiran.
Bara tersenyum, "Gak ada apa-apa, sayang. Oya, kamu istirahat yang banyak, ya. Mulai sekarang ... kita akan tidur di kamar ini."
Ya, aku baru mengingatnya. Aku dan Bara sedang berada di rumah peninggalan orangtua Bara. Dan ... aku tak sadarkan diri setelah melihat potret bajingan itu tersenyum dan menempel di dinding ruang keluarga.
'Mengapa harus seperti ini ya Tuhan? Aku tak menyangka sama sekali jika sumpah serapah ku menjadi kenyataan. Tapi ... kenapa harus Bara orangnya?'
"Hey! Kenapa melamun?"
"Eh? E-enggak, Mas. Ak--aku mau mandi, terus sholat."
Kubiarkan Bara dengan tanda tanya dalam hatinya. Biarlah, bukannya aku tak ingin berterus terang, tapi ini terlalu sakit.
'Aku menikahi putra dari seorang iblis tua itu? Arrrrggght..! Rasa ingin mati itu kembali hadir dalam emosiku. Ya Tuhan ... aku harus bagaimana?'
***
Semenjak kejadian itu, aku sama sekali tak ingin disentuh oleh Bara. Jangankan disentuhnya, menatapnya pun aku tak bisa. Bayangan pria bejad itu selalu menghantuiku.
Aku benci, aku marah.
Tak ada tawa dan canda disetiap hari-hari yang kami lalui. Semua flat.Suatu ketika, saat Bara pulang dari dinasnya.
"Assalamualaikum,"
Bara masuk ke dalam rumah tanpa harus menungguku membukakan pintu. Ya, sengaja aku menyuruhnya membawa kunci cadangan, agar memudahkannya masuk rumah, hal itu aku lakukan supaya aku tak usah menatap wajah letihnya yang membuatku luluh dan melupakan luka ini. Egois memang, tapi ini tak sebanding dengan rasa sakitku ketika dengan beringasnya manusia berhati iblis itu merenggut kegadisan dan masa depanku.Terdengar langkah kaki Bara mendekati kamar kami, kemudian meraih gagang pintu dan mendorongnya perlahan.
Ya, Bara selalu mengira jika aku sedang terlelap tidur, ia akan memastikan setiap geraknya tak akan membuat tidurku terganggu. Memang suami yang sangat istimewa.
Setelah selesai melepas seragam nya dan mandi, Bara pergi ke ruang makan untuk mengisi perutnya yang sudah keroncongan sejak tadi. Tentulah hal itu pun ia lakukan sendiri. Meski aku telah menyiapkan menu makan malamnya di meja makan, namun tetap saja rasanya tetap ada yang kurang.Aku sendiripun bingung, mengapa Bara sesabar itu? Aku bahkan telah mempersiapkan diri jika pada akhirnya ia tak tahan dengan sikapku yang tiba-tiba berubah menjadi dingin ini, mungkin berpisah adalah jalan yang terbaik untuk kita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Humairaku
Ficção Geralaku hanya bisa merutuki takdirku, mencaci Tuhanku, mengapa semua terjadi seperti ini...? masa depanku hancur, impianku telah sirna ....