3. Bicara

12.2K 544 5
                                    

Nabila membuka pintu rumah dengan kasar. Ia keluar dari rumah itu, tangan itu menghapus air mata secara kasar. Tidak ada tempat untuknya sekarang. Ini kesalahannya, kesalahan kenapa dia harus terlahir kedunia ini.

"Nabila!" Panggil Nuga.

Tubuh itu langsung jatuh kepelukannya. Nuga sedikit gugup, ini pertama kalinya ia bersentuhan dengan wanita lain.

"Maaf," ucap Nuga.

"Biarin gue mati aja!" 

"Kita masuk, ya."

"Enggak!"

"Iya atau enggak kita masuk," ucap Nuga yang langsung menggendong Nabila masuk ke rumah.


Nuga menurunkan Nabila ketika mereka sudah berada di kamar. Ia mengunci pintu agar Nabila tidak keluar.

"Nabila kamu --- "

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi Nuga dan tentu saja hal itu membuat Nuga kaget.

"Lo ngga ada hak buat pegang gue!"

"Saya ada hak untuk megang kamu, merangkul kamu bahkan menggendong kamu karena saya suami kamu!" ucapnya.

Nabila diam menahan emosinya. Bisa-bisanya pria ini mengaku sebagai suami padahal beberapa menit yang lalu dia telah melukai hati Nabila.


"Tolong jangan berpikir untuk mengakhiri hidup kamu. Orang tua kamu pasti akan sedih jika tahu anaknya punya pikiran seperti itu," ucap Nuga.

Nabila terkekeh kecil, ia berbalik agar tangisnya tidak terlihat.

"Sedih? Gue mati aja mungkin mereka ngga perduli. Gue ini cuma beban, segala sesuatu yang gue lakuin ngga pernah mereka apresiasi. Bahkan malam tadi, setelah akad. Mereka pergi gitu aja tanpa tanya keadaan gue. Hahaha, sedih ... "

Nabila tertawa pilu, rasanya kenapa begitu sakit. Lebih sakit dari pada ucapan suaminya tadi.

Sedangkan Nuga masih tampak bingung. Apa yang sebenarnya terjadi. Ia berjalan ke arah Nabila, memberanikan diri untuk memeluk istrinya yang terisak sendiri. 

"Jangan," pinta Nabila.

Nabila menahan tubuh itu agar tidak menyentuhnya. Namun seberapa kuat tenaganya, dia tetaplah seorang wanita. Ia luluh, jatuh ke dalam dekapan orang yang dia sebut suami.

***

Nabila melihat Nuga yang menyiapkan mie rebus. Pria sebaik ini tidak seharusnya ia seret ke dalam kehidupannya yang rumit.

"Mienya sudah siap," ucap Nuga menyodorkan semangkuk mie.

Nabila membalas dengan senyum canggung. Bau wangi dari kuah kaldu itu membuat cacing diperut meronta. Ia melahap mie itu dengan semangat dan tanpa sadar membuat Nuga tersenyum.

"Maaf, sudah membuat kamu nangis,"  ucap Nuganya.

"Kamu bisa cerita kapanpun kamu mau," lajitnya.

Nabila melirik ke arah Nuga, ia meletakkan sendok setelah itu mengusap sudut bibir yang terkena kuah mie.

"Lo ngga perlu tahu semuanya karena kita bakalan pisah juga kan nantinya?"

"Kenapa harus pisah?" tanya Nuga.

"Ya karena pernikahan kita terpaksa," jawab Nabila.

Nuga menarik napas panjang.

"Pernikahan kita sah menurut agama dan negara. Jadi ngga ada alasan untuk kita pisah," ucap Nuga.

"Pernikahan itu harus ada yang namanya cinta. Sedangkan kita ngga ada," ucap Nabila.

"Ada, cuma belum tumbuh aja," jawab Nuga.

Nabila menggelengkan kepala seraya tertawa kecil.

"Emang tumbuhan," cicitnya lalu melanjutkan makannya lagi.

Nuga mendengar tapi dia mencoba diam. Entah kenapa dia sangat ingin mempertahankan pernikahan ini meskipun tidak ada cinta di dalamnya.

***

Langit terang telah berubah menjadi gelap. Dihiasi oleh bintang kecil dan rembulan. Nabila berdiri di dekat jendela kamar yang berdasar kayu, sedari tadi ia melihat orang-orang yang berlalu lalang. Tidak ada orang dewasa, kebanyakan anak laki-laki usia belia.

Krek!

Decit pintu kayu itu membuat Nabila menoleh ke sumber suara, ternyata disana ada Ummi. Meeraunya itu berjalan mendekat ke arah menantunya. 

"Lagi ngapain, Bil?" tanya Ummi.

"Enggak ada, Tan -- eh maksudnya Ummi," ucapnya.

"Ummi ada perlu?" tanya Nabila.

"Iya, besok Ummi mau ajak kamu shalat subuh di Masjid. Mau ya sekalian kenalan sama anak-anak santriwati?" tanya balik Ummi.

"Santriwat?!" tanyanya kaget.

.
.
.

Bersambung...

Jangan lupa
Vote and Coment

Jazakumullah ya khairan.

Kamu Pilihan AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang