Tepat ketika bel terakhir sekolah berdering, Jyanna yang memang sudah ditunggu Kian di gerbang sekolah harus mengikuti apa yang menjadi keinginan orangtuanya. Begitu ia melihat Kian sedang berdiri di sisi mobil, Jyanna langsung menghela napas.
Kakinya bergerak menuju Kian dengan pandangan yang kosong. Sejujurnya ia merasa lelah karena pembelajaran yang berat hari ini. Hingga rasanya ia hampir saja ambruk. Namun, ini bukan saat yang tepat untuk ambruk.
Tepat saat Kian sudah dekat, Jyanna langsung berhenti. Keningnya berkerut dan matanya mulai ia edarkan ke sekitar sekolah.
Aroma ini. Jyanna mengingatnya. Ini aroma yang sama dengan saat dirinya disentuh dengan tak beradab di pesta ulang tahunnya. Jyanna pun mencoba mencaritahu siapa pemilik aroma ini. Karena aroma ini begitu membingungkan. Aroma lelaki, tapi tidak terlalu maskulin.
"Yana..."
Jyanna mendongakkan kepalanya. Melihat Kian yang melambaikan tangan kepadanya. Mau tak mau, Jyanna mengabaikan aroma itu dan ia mencoba tersenyum kepada Kian seraya naik ke dalam mobilnya.
"Gimana sekolahnya?" tanya Kian saat mereka sedang mengemudi ke rumah sakit.
"Baik."
"Kamu nggak apa-apa? Wajah kamu pucat," ujar Kian dengan tangan yang menyentuh keningnya. "Kamu harus jaga diri, Yana. Dengan begitu, aku sama orangtua kamu nggak akan khawatir."
Jyanna bosan mendengar itu. Ia akhirnya memalingkan wajahnya ke luar jendela.
"Apa aku harus hidup dengan kondisi kayak gini seterusnya?" Sebenarnya, Jyanna sudah tahu dengan jawabannya, Kian selalu memberinya jawaban yang sama, tapi itu tidak membuatnya berhenti bertanya.
"Semua ada di tanganmu."
Itu jawaban yang sama. Ia mencibir. Gampang sekali bagi dokter seperti Kian mengatakan itu semua. Sebenarnya apa mereka mengerti bagaimana perasaan yang sekarang Jyanna alami?
"Kak..." Masih dengan mata yang memandang ke luar jendela mobil.
"Ehm?"
"Bagi Kak Kian, dokter itu pisau bermata dua, itu kan yang Kakak bilang?"
"Kenapa dengan itu?"
Jyanna menghela napasnya. "Jadi selain Kakak bisa menyembuhkanku, Kakak juga bisa membunuhku, kan?"
Perkataan Jyanna itu membuat Kian sedikit terkejut, hingga ia mengerem mendadak dan membuat mereka dimarahi oleh pengendara yang lain. Setelahnya, Kian meminta maaf dan kembali menjalankan mobilnya.
Sepertinya kali ini perkataan Jyanna membuat Kian marah.
"Maaf," ujar Jyanna.
"Kamu benar. Mata pertama dipegang seorang yang akan menyembuhkan, lalu mata kedua dipegang malaikat penyabut nyawa. Jadi, aku bisa menyembuhkan atau membunuhmu."
Jawaban Kian membuat Jyanna terdiam.
"Kenapa? Kamu mau menyerah?"
Jyanna menggelengkan kepalanya. "Aku nggak bisa nyerah meski frustrasi karena ini semua."
"Kenapa?"
Jyanna tersenyum, lalu ia memandang ponselnya yang ada foto Jeff. "Karena aku takut nggak bisa lihat dia."
Saat itu juga mobil mendarat di perkarangan rumah sakit yang selalu ia kunjungi. Tanpa memperhatikan Kian yang entah mengapa diam, Jyanna langsung turun dari mobil.
Dengan tas ranselnya, ia berjalan memasuki rumah sakit menemui profesor yang menjadi dokter penanggung jawabnya selama ini. Setelah ia melakukan tes dan pemeriksaan, Jyanna langsung meminta pada Kian untuk pulang. Ia tidak berniat untuk melihat hasilnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jeff & Jyanna
Teen Fiction"I just love him so much, but he doesn't love me." || 2019 by Kyuri0510