🇳🇱3. Di atas samudera🇳🇱

1.2K 170 68
                                    

Dewa tertegun. Nama lelaki cantik yang duduk di hadapannya mempunyai arti mirip dengan namanya. Deo, dalam bahasa latin yang berarti Tuhan. Sedang namanya sendiri juga menunjuk pada sosok penguasa alam semesta.

"Aku Dewa," ujar Dewa memperkenalkan namanya.

"Aku tahu," jawab Beatrix singkat. "Pater Patris berulang kali memanggilmu agar kesadaranmu terkumpul." Dewa mengangkat alisnya dan memanyunkan bibir karena perkenalannya ternyata sia-sia.

"Terima kasih sudah membantuku," kata Dewa pada kedua orang Belanda di depannya.

"Bagaimana bisa kau memperoleh luka tembak mengerikan itu?" tanya Beatrix. Tangannya masih sibuk merapikan baskom dan kain yang semalaman digunakan mengompres Dewa.

"Lelaki Jepang itu ... menembakku!" Desis Dewa dengan mata memicing menyiratkan kebencian yang dalam.

"Ah, Jepang." Beatrix berdiri kemudian dengan tangan memegang baskom berbalik keluar untuk membuang airnya.

Kata 'Jepang' yang meluncur dari bibir Dewa membuat Beatrix bergidik. Dai Nippon adalah bangsa yang datang mengambil alih kekuasaan pemerintah Hindia Belanda membuat kesengsaraan bagi bangsanya. Hingga akhirnya Beatrix harus bersembunyi di balik kemejanya, memotong rambut indahnya. Sebatang kara mengarungi samudera.

Isi baskom itu diguyurkan di atas air laut yang bergolak dipecah lambung kapal. Angin semilir menerpa wajah tirus yang kuyu karena kurang tidur. Rambut pendeknya berkibar acak mengikuti arahan sang bayu. Beatrix menghela napas panjang. Ini kali pertamanya gadis itu pulang ke Kerajaan Belanda. Suatu negeri yang sangat tidak dikenalnya karena dia terlahir di Batavia. Mamanya selalu menceritakan keindahan Negeri Belanda dengan bunga tulip dan kincir angin.

Beatrix merindukan negeri yang damai. Bukan seperti pulau jawa di Hindia Belanda yang saat ini syarat dengan teror yang dibuat oleh tentara Jepang. Hanya inilah satu-satunya harapan Beatrix terbebas dari belenggu penjajahan bangsa bermata sipit itu.

"Masuklah, disini cuaca dingin." Suara Patris memecah lamunan Beatrix.

"Ah, iya, Pater." Beatrix mengiyakan tetapi badannya masih kerasan pada tempatnya. "Aku hanya ingin menghirup udara yang bersih."

"Betul sekali, rasanya udara sekarang sungguh bisa membersihkan paru-paruku, Mevrouw (Nona) Van der Beek."

Mata biru Beatrix melotot memandang Patris yang melempar senyum karena berhasil mengetahui jati dirinya.

"Bagaimana Pater tahu?" tanya Beatrix heran. Alisnya mengerut. Penyamarannya terasa sia-sia, dalam sekali bersosialisasi, identitasnya sebagai wanita terbongkar.

"Kamu terlalu cantik untuk seorang laki-laki," jawab Patris menyapukan pandang ke cakrawala. Beatrix terdiam. "William Van der Beek, satu-satunya jenderal Belanda keturunan Yahudi di Hindia Belanda. Beliau hanya punya satu putri tunggal."

Beatrix menelan ludah kasar.

"Kumohon, jangan memberitahu orang lain kalau aku perempuan," pinta Beatrix cemas.

"Tenang saja, kamu pasti mempunyai alasanmu sendiri." Patris melayangkan pandangan jauh ke garis persatuan langit dan air.

"Terima kasih, Pater."

***

Pagi itu, cuaca sungguh bersahabat. Langit biru dengan gumpalan awan mengurangi terik pancaran sinar sang surya. Sejauh mata memandang, deburan dan riak air laut menemani perjalanan mereka. Beatrix sungguh menikmati apa yang diterima panca inderanya. Merasakan angin yang membelai lembut porinya seperti rengkuhan sang bunda yang dirindukan. Matanya dimanjakan oleh perpaduan biru laut dan biru langit yang bersatu di garis cakrawala. Aroma segar udara laut pun tidak ketinggalan dihirupnya dalam-dalam membersihkan alveoli paru-paru.

Nederland (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang