Pagi itu, kelopak mata Dewa terbuka. Kepalanya pening bagai terantuk puluhan kilo beban di leher. Saat lensa matanya menangkap bayangan gadis yang berbaring di ranjang, hatinya perih. Dewa hanya bisa meraup wajah damai itu dari kejauhan.
Bunga tidurnya semalam terlalu nyata. Seolah Dewa mampu merasakan embusan napas Beatrix di indera perabanya. Bibirnya juga dapat merasakan lembutnya bibir merah gadis blasteran itu. Dewa merasa jijik dengan dirinya. Bahkan pikirannya pun kini berkhianat dengan menjadikan gadis lain selain tunangannya sebagai objek fantasi liarnya.
Dewa, kamu bukan manusia! Bagaimana bisa kamu berimajinasi seperti itu.
Lagi, Dewa mengusap lembut bibirnya. Menyentuhnya sambil membayangkan kecupan yang sangat terasa nyata.
Akankah kecupan itu nyata? Tidak, tidak mungkin! Beatrix Van der Beek ada di sana, dan aku disini.
Dewa menggigit bibir merahnya, menajamkan penglihatannya.
Ah, sungguh cantik dirimu Beatrix. bidadari dari kayangan yang menemani malam gelapku. Bagaimana bisa kami laki-laki di sekitarmu tak menaruh hati padamu. Dewa teringat Patris, biarawan yang hanya pandai menguntai doa itu. Kecuali Patris tentunya. Hatinya sudah terikat pada Tuhan, tak ada yang lebih indah dari Tuhan.
Dewa mendesah, memeluk selimut yang ada di depannya. Keinan, aku harus bagaimana? Semakin hari, aku semakin takut kehilangan gadis itu. Layaknya aku takut kehilangan kamu, Himeka Keinan. Gadis itu seperti lilin di lorong pekat fase kehidupanku yang gelap. Bersama dirinya aku mampu tertawa, dengan dirinya aku bisa tersenyum. Haruskah aku melepasmu, Himeka Keinanku?
Gadis kurus itu terbangun. Begitu membuka mata, iris birunya menangkap bayangan Dewa yang memandangnya. Nyeri hatinya, bila mengingat ciuman hangat itu. Dalam diam, Beatrix membalas tatapan Dewa.
"Sudah bangun?" Suara Dewa terdengar serak, khas bangun tidur. Lelaki itu berdeham untuk melonggarkan pita suaranya.
Beatrix memilih diam. Dia duduk terlebih dahulu, menghirup napas panjang, kemudian bergegas meraih handuk untuk membasuh badan. Dewa hanya mengernyitkan alis mendapati reaksi datar gadis itu. Pria itu bergegas bangkit duduk di alas tidurnya.
Kenapa dengan gadis itu?
***
Begitu keluar dari kamar mandi, Beatrix disambut oleh Dewa yang sudah bersedekap berdiri di tengah ruangan. Beatrix menggeser langkahnya ke kiri, saat terhalang oleh badan kekar Dewa yang justru diikuti oleh Dewa. Beatrix pun menggeser langkahnya ke kanan dua langkah, dan diikuti lagi oleh Dewa.
Beatrix menghela napas kesal. "Wa, aku mau menjemur handuk!"
"Kamu marah?" Beatrix menggeram mendengar pertanyaan dengan wajah polos itu.
Dengan sunggingan senyum sinis, Beatrix menjawab, "Tidak! Besok lagi kamu bertanya begitu akan aku jawab tidak, dan ketika dua hari lagi kamu bertanya dengan pertanyaan yang sama akan kujawab lagi dengan jawaban, 'Tidak'!"
"Justru kalau kamu seperti itu kamu terlihat marah," ujar Dewa lirih.
"Menurutmu, apakah ada alasan aku untuk marah?" Dewa terdiam, bibirnya menipis maju beberapa centi ke depan, membuat pipi Beatrix memerah karena teringat bibirnya pernah mendarat di bibir tipis itu.
"Entahlah!" Dewa mengendikkan bahu dengan alis terangkat.
"Ya sudah, itu artinya aku tidak ada alasan untuk marah, 'kan?" Beatrix menghalau Dewa agar memberi jalan. Dewa pun menurut dan memiringkan badannya.
Ciuman itu benar terjadi? Ya Tuhan, kenapa aku tidak ingat? Masa aku katakan karena ciuman! Bagaimana kalau itu hanya imajinasiku saja? Beatrix pasti akan mengira aku lelaki aneh yang suka berfantasi tidak jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nederland (Completed)
Fiction HistoriqueDewa Pamungkas, seorang gerilyawan yang terdampar di negeri Belanda. Terpisah dari kekasih yang akan dinikahi, membuat Dewa harus bertahan untuk memenuhi janji kembali di Indonesia. Beatrix Van Der Beek, gadis Belanda berdarah Yahudi yang menyembuny...