🇳🇱31. Curahan Hati Patris🇳🇱

622 116 32
                                    

Kalau bisa, Patris ingin memutar lagi waktu. Satu kalimat yang akhirnya terlontar di dalam ketidakberdayaan membuat dirinya menempatkan Dewa dan Beatrix dalam posisi sulit.

Selama hampir sepuluh bulan ini, Patris menjadi mata-mata Sekutu, yang membocorkan kondisi Jerman pada pihak Inggris. Persahabatannya dengan para tentara Sekutu yang pertama kali dijumpai saat menginjakkan bumi bunga tulip, ternyata terus berlanjut.

***

Maret 1944

Patris saat itu hendak pulang ke rumah Keluarga Sneijder. Hanya Patris yang bisa lalu lalang di jalanan, karena di antara mereka bertiga, hanya Patris yang aman dari ancaman penyergapan karena Patris memang orang asli Belanda. Dengan bantuan Oliver, Patris mendapatkan dokumen resmi bahwa dirinya adalah warga negara asli Belanda.

Udara malam itu tak sedingin biasanya. Angin musim semi mulai menghangatkan bumi Kerajaan Belanda. Saat hendak keluar dari gereja, tiba-tiba seorang pria dengan mantel panjang, topi disertai syal rajut yang menutup separuh wajah, mengetuk pundaknya.

Patris terlonjak, dan langkahnya spontan mundur mendapati lelaki di depannya yang terlihat aneh.

"Pater ... ini aku!" Lelaki itu menurunkan sedikit syalnya. Patris pun menyipitkan matanya, berusaha menangkap obyek wajah yang ada di depannya.

"Brian?!" Patris terperangah. Bola matanya membulat dan kepalanya menoleh ke kanan dan kiri memastikan hanya udara yang berembus di sekitar mereka saja yang menjadi saksi perjumpaannya dengan Brian.

Dengan gugup, Patris berusaha membuka lagi pintu gereja. Tangannya gemetar saat memutar kunci sampai akhirnya bunyi 'klik' terdengar, dan dalam sekali dorongan pintu itu terbuka. Patris mempersilakan tamu tak diundangnya lebih dahulu masuk dengan gerakan tangannya.

Lagi, Patris mengedarkan pandang dan segera masuk dengan terlebih dulu mengunci pintu.

"Brian? Kenapa kamu sampai di desa ini?" Suara Patris terdengar berbisik, seolah tak ingin terdengar siapapun dari luar. Di waktu ini bahkan dinding pun punya mata dan bisa berbicara. Kedatangan Brian yang tiba-tiba tak ingin sampai diketahui oleh orang lainnya.

Brian mengeluarkan sebuah alat radio amartir. Lelaki itu meletakkannya di atas meja, dan menatap Patris yang gugup. "Apa ini?"

"Pater ... tempat persembunyian kami sudah tidak aman. Benda ini paling tidak harus berada di tempat yang aman, sehingga kami bisa berkomunikasi dengan Kerajaan Inggris. Jadi kumo—"

"Tidak bisa! Aku tidak ingin terlibat dengan pihak manapun. Aku hanya ingin melayani dengan aman dan nyaman," potong Patris segera.

Brian mendesah. Selama berjalan beberapa hari bersama Patris, Dewa dan 'Deo', Brian sedikit banyak mengenal karakter Patris yang setia kawan, peduli tetapi sedikit pengecut bila dihadapkan pada situasi yang tidak bisa dia kendalikan.

"Pater, kami membutuhkan pertolonganmu. Eropa membu—"

"Apalah aku ini Brian! Aku hanya seorang Pastor!" seru Patris tertahan.

"Justru karena itu, Pater tidak akan dicurigai ...." Tatapan Brian menjurus lurus ke arah mata Patris yang diliputi kegalauan. "Pater hanya menyimpan alat ini, dan bila ada informasi penting, Pater harus menyampaikan ke Inggris."

Patris menatap nanar radio penghubung itu. Tenggorokannya terasa kering sehingga susah sekali untuk menelan ludahnya sendiri. Patris menjilat bibir, membasahi bibir atas dan bawahnya.

"A ... a ... apa yang harus kulakukan?" tanya Patris tergagap.

"Cukup sampaikan informasi yang akan aku kirimkan setiap hari." Brian mengurai senyum senang karena Patris akhirnya tak menolaknya. "Dimana aku bisa meletakkan alat ini?"

Nederland (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang