🇳🇱2. Perjumpaan Pertama🇳🇱

2.1K 217 78
                                    

September, 1943

Kapal melepas jangkarnya di suatu pagi di bulan September. Suara peluit menambah riuh kesibukan pagi di pelabuhan. Para interniran yang diselamatkan pemerintah Swiss dibawa dengan kapal dagang yang berlabuh hendak kembali ke Eropa. Dalam kapal itu, teronggok tubuh yang lemah di suatu sudut dek kapal. Seorang pemuda terkapar dalam balutan baju rohaniawan berwarna hitam. Orang menyangka pemuda itu adalah seorang pastor yang tertembak. Hidungnya yang mancung bertengger pada wajah, membuat sang lelaki menyerupai para penumpang lainnya yang berras Caucasoid.

Badan yang tak berdaya mengejang beberapa kali. Suhu tubuhnya meninggi karena luka di punggungnya mengalami infeksi.
Kesadarannya menurun sehingga dia tidak tahu dimana keberadaannya saat itu. Demam yang hebat menyerang dari ujung kaki hingga ujung kepalanya. Luka yang terbalut di punggung sedang digerogoti kuman seolah lubang bekas peluru itu adalah media untuk bakteri berkembang. Lelaki itu hanya berbaring telungkup. Pasrah ... Berharap Tuhan mengirimkan seseorang padanya meringankan derita saat kritisnya.

Patris-biarawan asal Belanda-mengedarkan pandangannya memilih tempat yang nyaman. Kegaduhan sekelompok orang karena tidak sengaja bertemu kembali dengan keluarganya selama ditawan Dai Nippon membuatnya menyingkir. Dia ingin tempat sunyi untuk bermeditasi, memanjatkan puji syukur karena boleh dikeluarkan dari neraka yang mendera Hindia Belanda yang kini disebut Indonesia.

Sebuah tempat di dekat jendela dipilihnya. Pastor muda itu mengistirahatkan tubuh letihnya dengan duduk di sudut ruang kapal. Rasa terima kasih menerima udara kebebasan sungguh menguasai Patris. Dirinya tidak mengira bisa bertahan dalam kelamnya bui penjajahan Jepang yang membuat teman-temannya meregang nyawa meninggalkannya sendiri dalam tahanan itu. Di saat otaknya penuh ketakjuban karena dirinya yang masih bernyawa, dibumbui dengan lambung yang mulai bergolak, lamunan Patris dibuyarkan oleh rintihan menyakitkan yang menggelitik gendang telinga. Suara itu hilang timbul, tenggelam oleh deburan ombak keras yang dipecah laju moncong kapal.

Lengkingan kesakitan itu terdengar lagi dan kali ini sungguh mengenaskan, membuat Patris menggulirkan pandangannya ke segala penjuru. Manik mata hijau itu tertuju pada tubuh yang tergeletak di dek yang tidak banyak orang berkumpul di situ. Sesekali tubuh jangkung itu terlihat bergetar di atas ranjang menandakan Patris harus segera bergerak menghampiri raga tak berdaya itu. Patris mendekat dalam pijakan lantai kapal yang bergoyang disapu gelombang. Mabuk lautnya tak dirasakan lagi karena panggilan kemanusiaannya meraung dalam dirinya.

Patris menurunkan posisi tubuhnya. Lutut kaki kirinya menapak di lantai, sedang kaki kanannya menekuk menyangga sikunya. Patris menarik tubuh kekar pemuda itu dengan segenap kekuatannya. Ditepuknya pipi lelaki berwajah tirus dan berkulit eksotis hendak memanggil alam sadarnya.

"Bangun, bangun, siapa namamu?" Patris berulang kali memukul Dewa membuat lelaki itu terjaga.

"De ... wa ...."

Panggilan Patris itu menahannya pergi ke dunia yang asing di otaknya. Seolah sebuah kotak terpecah akibat seruan suara berat lelaki Belanda itu. Dewa yakin itu bukan Raka, sahabatnya, atau tentara Jepang jahanam yang melesatkan bola timah panas di punggungnya. Sungguh suara itu begitu asing baginya. Kelopak mata Dewa terbuka dengan berat dan langsung disapa oleh terik sang surya yang setia memancarkan sinarnya. Badan Dewa terasa ngilu dan kaku saat bergerak untuk menghalau cahaya yang menyeka netranya.

"Jangan bergerak, tubuhmu terluka!" larang Patris

"Aku dimana?" tanya Dewa masih berupaya mengumpulkan nyawanya.

"Kamu di atas kapal menuju Eropa." Mata Dewa membelalak. Satu hal yang tetap tergantung manis di ingatannya, sebentar lagi dia akan menikah dengan Himeka Keinan. Bagaimana dengan nasib gadis itu bila dia ada di kapal itu.

Nederland (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang