🇳🇱17. Demam🇳🇱

644 123 28
                                    

Beatrix berlari memeluk pakaian dua laki-laki itu. Baju basahnya tak dihiraukan karena sudah terlindung oleh kemeja Dewa yang longgar. Membuat bebat yang tercetak di baju basahnya tertutup.

Beatrix berlari menerpa angin sore. Laju larinya kencang, tetapi sang bayu gagal mengibarkan helaian rambut coklat mudanya yang basah. Seringai nakal terukir di wajah cantiknya, membuat deretan gigi putih rapinya terlihat mencolok. Rasa puas bisa membalas kenakalan dua pemuda kekanakan itu menguasai Beatrix. Seperti gadis kecil yang menang melawan gerombolan anak lelaki badung.

Bersama Dewa, Patris dan sekarang pasukan SS nyleneh itu, Beatrix bisa tertawa bebas. Kesesakan yang dialami telah mengikis ditelan keceriaan. Sungguh Beatrix hanya ingin bahagia apapun keadaannya. Rasanya tak sia-sia usahanya keluar dari Hindia Belanda.

Beatrix terus berlari. Langkah ringannya membuat gadis itu bagai terbang melayang bebas di atas jalan setapak di antara tanaman perdu dan pohon oak di kanan kirinya, sementara anak sungai Rhein ada di sisi kirinya.

Perang yang berkecamuk dilalaikannya. Beberapa jam yang dilewati hari ini, membuat Beatrix bagai berada di taman Eden dimana hanya diisi keceriaan dan canda tawa anak kecil. Sisi lainnya, sisi lain Dewa dan sisi lain Oliver berpadu membuat suatu masa yang indah yang akan selalu tertoreh di otak.

Beatrix melintasi halaman rumah Sneijder dan bergegas masuk. Dia harus cepat mengganti bajunya bila tidak ingin ketahuan penyamarannya. Dan Beatrix juga merindukan segelas minuman hangat yang bisa menghangatkan badannya yang menggigil. Dengan cepat Beatrix ke kamar mandi, membasuh tubuh sekalian dan mencuci bajunya yang basah. Terkadang bibirnya tersungging bila apa yang terjadi tadi siang kembali melintasi otaknya.

Setelah menyelesaikan urusan di kamar mandi, Beatrix keluar dan segera menjemur bajunya. Handuk masih menggantung di kepala. Dia ingin mengeringkan rambut sambil menikmati minum yang bisa menghangatkan badan.

"Kalian berenang di sungai, Deo?" tanya Nyonya Sneijder mendapati Beatrix dari halaman belakang menjemur baju.

"Dewa dan Oliver yang berenang, tapi mereka menceburkan aku," kata Beatrix sambil masih menggosok rambutnya, "Nyonya, aku kedinginan, bisakah aku meminta secangkir teh hangat?"

Nyonya Sneijder tersenyum. "Aku akan membuatkan susu coklat panas. Kebetulan Tuan Veltman mengantar susu tadi siang. Kamu mau?"

Beatrix mengangguk, mengambil tempat di meja makan sambil memperhatikan gerak gerik perempuan tua itu menyiapkan minuman hangat untuknya. Nyonya Sneijder memberikan taburan bubuk coklat di atas permukaan menambah keharuman yang sungguh menenangkan. Disuguhkannya secangkir coklat hangat yang diterima Beatrix dengan senang hati.

"Terima kasih." Beatrix mengangkat cangkir dan matanya terpejam menghirup uap hangat yang harum.

"Pasti sangat sulit bagimu untuk berperan menjadi laki-laki ya?" Kelopak mata Beatrix terbuka. Bola matanya menatap nanar pada wajah wanita yang tersenyum memperlihatkan kerut di wajahnya. Begitu banyak keriput yang menunjukkan betapa wanita itu sudah mencicipi asam garam kehidupan. Sehingga tidak ada bisa yang disembunyikan darinya.

Wajah Beatrix memucat. Gerakan tangannya pun terasa lemas. Belum sempat dia menyesapnya, susu coklat itu tak lagi menarik baginya. Lengan Beatrix turun, meletakkan cangkir itu di permukaan meja. Punggungnya terasa tegang dan raganya mematung terpatri erat dengan tatapan yang menghujam dari Nyonya rumah.

"Melihat sekilas pun aku tahu kamu adalah seorang gadis. Hanya dua lelaki bodoh-Dewa dan Oliver-yang tidak menyadari perempuan yang secantik ini." Nyonya Sneijder memajukan tangannya, menggapai tangan kecil Beatrix. Tangan Nyonya Sneijder terasa kasar saat menyentuh indra peraba Beatrix. Punggung tangannya pun kulitnya kendor.

Nederland (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang