🇳🇱24. Tertangkap🇳🇱

598 117 21
                                    

Dewa-Beatrix up...
Special buat pencinta hisfic abegeh...
Yuk, jangan lupa bintang dan komen...

❤Happy reading❤

Tenggorokan Dewa seolah  tersekat. Tentara Jerman itu menodongkan pistol tepat di depan wajahnya. Moncong pistol yang sudah dalam genggaman tentara itu menganga siap melontarkan isi perutnya, bila pemiliknya menarik pelatuk. Dewa bergeming di tempat, tak melepas kaitan tangannya di bawah tungkai Beatrix.

Suasana terasa mencekam. Dewa dan Beatrix seperti meniti seutas rambut tipis yang bisa saja putus, melemparkan mereka ke jurang kematian. Jantung Dewa berdebar.

Inikah akhir hidupku? Tak ada tempat baginya melarikan diri saat ini dan detik ini.

"Tamat riwayat kita, Dewa," bisik Beatrix. Beatrix pasrah, bersandar saja di atas punggung Dewa, menahan nyeri. Ia sudah berpikir mungkin ini saat akhir dari petualangannya.

"Kalian ditangkap!" Kata-kata dalam bahasa Jerman itu tidak dapat ditangkap oleh Beatrix dan Dewa. Sementara satu tentara menodongkan senjata laras panjangnya.

Tentara itu mendorong Dewa bak tawanan. Membuat Dewa hampir terjerembab jatuh ke depan. Sementara Beatrix masih bergelantungan di atas punggung Dewa dengan lemah karena asanya menguap begitu saja. Dengan ditodong pucuk senjata laras panjang, kedua orang itu menggiring Dewa dan Beatrix.

Mereka melalui perkebunan gandum yang sudah dipanen. Tak nampak bekas jelai yang tumbuh di situ, membuat ladang itu seperti tanah lapang yang kosong. Suara ranting kering dan perdu yang terinjak menemami perjalanan mereka. Bunyi-bunyian burung malam pun menambah ketegangan.

"Dewa, kita mau dibawa kemana?" tanya Beatrix lirih. Dari nadanya, Dewa bisa menebak bahwa gadis itu merasakan kecemasan.

"Entahlah, kita ikuti saja!" ujar Dewa berusaha menenangkan dirinya pula. Tak dipungkiri, ujung senapan laras panjang yang menempel di lengannya membuat bulu kuduk Dewa meremang. Peluh dingin menetes di pelipisnya. Adrenalinnya terpompa kuat memacu jantungnya untuk berdetak maksimal

"Apa Oliver tidak ke kandang?" tanya Dewa mengecek, di antara napasnya yang tersengal. Pria itu masih sedikit curiga dengan letnan SS itu.

"Ia ke kandang, tetapi sepertinya anak buahnya mendatanginya. Entah ada pembicaraan apa, aku tidak bisa memahami karena mereka berbicara dalam bahasa Jerman. Dan selanjutnya, peluru ini menyasar di pahaku ..." Beatrix mendesah sesaat. "Untung saja tidak mengenai bagian tubuh vital. Sungguh, kupikir aku sudah mati hari ini." Beatris mengencangkan rangkulan di leher Dewa.

Dewa menggeram. Dalam hatinya merutuki diri, mempercayai Oliver. Namun, bila dia atau Patris yang ke kandang, pasti nasib mereka tak seberuntung sekarang.

"Bagaimana nasib kita selanjutnya Dewa?" tanya Beatrix berbisik di telinga Dewa. Nada gadis itu terdengar bergetar, antara menahan nyeri dan bisa jadi ketakutan yang melingkupinya sudah membuat tubuhnya bereaksi tak kendali.

Dewa tak mampu berpikir. "Kita ikuti saja. Semoga nasib kita beruntung."

Dengan jantung yang berdegup kencang Dewa melangkahkan kaki dengan Beatrix yang berada di punggungnya. Tanpa banyak bicara mereka melangkah di kemerangan jalan. Digiring oleh tentara Jerman di depan dan di belakang mereka.

"Dewa, aku takut ...," bisik Beatrix mengakui apa yang dirasakan.

"Tenang, kita akan selamat." Lidah Dewa kelu. Selamat ... bahkan Dewa pun tak dapat meyakini apa yang diucapkannya. Ia melirik posisi kedua orang serdadu yang menggiring mereka, bagai menggiring anak domba ke pembantaian.

"Dewa, maaf ...," isak gadis itu.

"Kenapa minta maaf?" tanya Dewa, kepalanya agak meneleng berusaha mendapati ekspresi Beatrix.

Nederland (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang