Juni 1945
Pelabuhan Rotterdam di akhir musim semi sangat ramai. Kapal dagang dari Inggris itu sedianya akan berangkat pada bulan Mei, tetapi akhirnya baru berlabuh di Rotterdam pada Juni ini. Dewa dan Patris siang ini sudah berada di pelabuhan. Betul kata Patris, setidaknya pertemuan kemarin tidak menyisakan penyesalan walau sedikit menorehkan kepedihan
Dewa hendak naik ke atas kapal, tetapi samar-samar Dewa mendengar suara gadis memanggilnya.
"Dewa!" Seruan itu membuat Dewa menoleh mencari sumber suara di antara riuhnya orang-orang yang hendak naik ke kapal.
Seorang perempuan berlari ke arahnya dengan gaun berwarna biru. Keringat bercucuran di wajah.
Wajah Dewa semringah melihat gadis yang terengah mengejarnya. Matanya menjadi berbinar ketika Beatrix berpegangan pada lengan kokohnya sementara tubuhnya membungkuk karena kehabisan udara.
"Kamu tidak berubah, walau memakai rok tapi aku tidak bisa melihatmu sebagai wanita," goda Dewa terkekeh menyembunyikan keterpanaan, dan rasa akan kehilangannya.
Beatrix mencebik. Alih-alih mendapat pujian dari Dewa justru ia mendapat ledekan.
Beatrix menghirup dalam-dalam rongga dadanya dengan oksigen. Gadis itu menegakkan badan dan mengibas gaunnya sehingga angin musim semi mengibarkan roknya.
"Terima kasih atas segalanya, Deo," kata Dewa lagi. Dewa sudah membiasakan diri memanggil nama itu lagi. Tak ingin berkutat dengan perasaan pada gadis Indo Belanda Yahudi yang akan ditinggalkannya.
"Sama-sama. Semoga kamu bertemu dengan tunanganmu," jawab Beatrix berusaha memberikan senyum perpisahan terbaiknya.
Hanya senyuman yang harus Beatrix persembahkan untuk kenangan terakhirnya bersama Dewa, alih-alih air mata.
Pupil mata Beatrix memindai setiap lekuk wajah Dewa yang tak akan dilihatnya lagi. Dari atas sampai bawah, Beatrix ingin meraup semuanya dalam otak. Manik mata gadis itu menangkap rambut hitam yang sudah agak panjang terurai acak, alis yang membingkai wajah membuat Dewa semakin berkharisma, mata dengan manik legam tajam memandang, hidungnya mancung tidak kalah dengan hidung ras caucasoid, dan bibirnya tipis membuat Beatrix berdebar.
"Aku tidak tahu lagi bila kamu tidak merawatku saat perjalanan menuju ke sini," kata Dewa menggaruk rambutnya yang tidak gatal.
"Sudahlah. Jangan seperti itu. Aku akan menyesal melepasmu," potong gadis itu dengan nada kesal. Mata biru itu sangat indah membius Dewa yang menatapnya. Sebagai lelaki normal, Dewa mengakui kecantikan Beatrix Van Der Beek yang selama ini dikenalnya sebagai Deo Van Der Beek. Gadis yang membuatnya frustasi karena mengira dirinya adalah seorang gay selama ini.
"Sering-seringlah memakai gaun, kamu terlihat cantik seperti itu" puji Dewa.
Beatrix terkekeh. Senang akhirnya terlontar pujian dari mulut Dewa.
"Jangan memujiku sementara tunanganmu berada di balik dunia sana," kata Beatrix memukul dada Dewa dengan kepalan tangannya berusaha menahan rasa sedih. Beatrix sudah mengenal Dewa selama satu tahun lebih ini dan saat ini Beatrix harus melepasnya saat Dewa dan dirinya benar-benar sembuh. Sembuh dalam kehampaan masing-masing.
Peluit kapal bersiul nyaring menjadi tanda bahwa kapal akan segera berangkat. Suara itu memekakkan telinga membuat riuh rendah suasana sekelilingnya. Dewa menengok kapal yang sudah berdiri menantinya di dermaga. Entah kenapa dadanya sesak. Sesak karena mengalami pengalaman kedua : meninggalkan seorang gadis. Namun kali ini, Dewa tidak ingin menjanjikan apapun pada perempuan Belanda itu.
"Aku pulang ya." Dewa menepuk Beatrix seolah dia adalah laki-laki. Sikapnya sama seperti dia memperlakukan Raka, sahabatnya. Beatrix sudah terbiasa dengan perlakuan Dewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nederland (Completed)
Historical FictionDewa Pamungkas, seorang gerilyawan yang terdampar di negeri Belanda. Terpisah dari kekasih yang akan dinikahi, membuat Dewa harus bertahan untuk memenuhi janji kembali di Indonesia. Beatrix Van Der Beek, gadis Belanda berdarah Yahudi yang menyembuny...