🇳🇱32. Auschwitz III🇳🇱

656 116 24
                                    

Desember 1944

Kereta api yang membawa rombongan tahanan memekik membelah ladang gandum yang luas. Kepulan asap hitam mengepul dari corong lokomotif bersatu dengan udara yang dingin menusuk tulang. Suara gesekan roda besi di atas rel pun mendominasi perjalanan Dewa, Patris dan Beatrix.

Dewa dan Patris sekarang meringkuk di sudut gerbong tak berkursi penumpang. Manik mata Dewa masih menyalang ingin melahap Patris yang hanya duduk memeluk kakinya. Dewa berkali-kali mendecih tidak percaya pada lelaki yang dianggapnya paling suci di antara mereka, ternyata mengkhianati persahabatan mereka.

Dewa Pamungkas selama di persembunyian selalu mencemaskan hari ini terjadi. Hari di mana tentara Nazi akan menemukan ruang rahasia mereka. Hanya mereka dan tuan rumah yang tahu tempat persembunyian itu dan bila sampai persembunyian itu terbongkar, Dewa bisa menebak bahwa selain tuan rumah, hanya Oliver dan Patris yang bisa menjadi pengkhianat.

Oliver Lehmann. Dewa tahu perasaan Oliver pada Beatrix. Cara lelaki itu memandang gadis kurus itu begitu terlihat mendamba dan memuja. Walau mulut tak bicara, Dewa sangat paham, betapa Oliver menjaga Beatrix hingga menanggung resiko dihukum mati bila ketahuan menyelamatkan tahanan.

Dan, ketika melihat Patris dengan wajah penuh luka dan kedua tangannya diborgol pagi itu, Dewa langsung mengetahui bahwa lelaki itu yang berkhianat. Lagi, napas Dewa memburu. Persahabatan yang ditemukannya di negeri nun jauh dari Indonesia, yang dipikirnya sempurna, ternyata ternoda dengan sebuah pengkhianatan yang dilakukan oleh seorang biarawan yang bernama Patris de Jong, SVD.

Mereka masih membisu, dengan kilatan mata memusuhi dari Dewa, dan sorot mata Patris yang dipenuhi oleh perasaan bersalah. Patris menggeser pantatnya berusaha mendekat ke arah Dewa. Namun, Dewa justru menjauh. Patris tetap menggeser badannya lagi semakin menghimpit Dewa ke sudut gerbong.

"Patris, menjauhlah dariku!" sergah Dewa mendorong Patris hingga lelaki itu terjengkang ke belakang. Beberapa orang yang ikut dalam perjalanan ke kamp konsentrasi itu hanya memandang mereka. Tak ingin ikut campur karena terlalu sibuk dengan kecemasan mereka sendiri.

"Dewa, dengarkan aku-" Patris segera memperbaiki posisi tubuhnya.

"Apa yang harus kudengarkan dari pengkhianat sepertimu?!" Aku tak butuh khotbahmu, Pater Patris!" seru Dewa sinis.

"Aku tahu aku bersalah, tapi kumohon dengarkan aku lebih dahulu!" pinta Patris.

Dewa mendengkus, tak percaya dengan sikap Patris. "Kamu mengerikan Patris. Kamu tak ubahnya adalah serigala yang berbulu domba yang kini sedang memangsa kawanan domba tak berdaya!"

Ucapan Dewa itu menusuk batin Patris. Telinga Patris terasa panas, tetapi tidak bisa berkata apa-apa lagi.

"Kamu selalu seperti itu, Dewa! Hatimu selalu dikuasai amarah dan kebencian! Tak pernah berusaha melihat apa yang terjadi di balik yang terjadi!" desis Patris.

Dewa menarik sudut bibir kanannya ke atas, membentuk seringai miring yang mengerikan. Matanya memicing dan dia mencondongkan badannya mendekat lelaki yang kini duduk di lantai itu.

"Kamu tidak berhak bicara seperti itu, Pengkhianat! Kau tak lebih baik dari aku!" Dewa mengangkat tangannya, dan memukul bahu Patris dengan telunjuknya.

Patris memilih diam. Memandang sahabatnya yang kini mempunyai sorot mata yang seperti awal perkenalannya dulu-dendam dan amarah yang bercampur aduk di batinnya. Patris tidak lagi melanjutkan usahanya.

***

Perjalanan menuju Auschwitz memakan waktu yang cukup panjang. Suara decitan rel kereta api yang mulai menurunkan kecepatannya memekakkan telinga. Gerbong yang berhenti menghentak satu sama lain saat mesin tak lagi menarik mereka, menimbulkan goncangan yang cukup hebat bagi para penumpangnya.

Nederland (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang