🇳🇱7. Sup krim🇳🇱

758 133 66
                                    

Perjalanan hari itu dilanjutkan lagi. Dengan sisa-sisa tenaga, Beatrix berjalan di belakang Dewa. Jalannya terseok, karena kaki yang pegal terjerat udara dingin. Matanya sedikit mengantuk, karena semalam Beatrix kedinginan dan tak dapat tidur nyenyak. Menjelang pagi udara begitu dingin menusuk tulang, membuat seluruh tubuhnya membeku. Lagi-lagi bahu yang kemarin belum reda sakitnya, sudah harus diberi beban lagi.

Sesekali Dewa menengok ke belakang. Mendapati Beatrix yang menahan beban, Dewa merasa kasihan. Lelaki itu menarik tali selempang, untuk mengambil alih kotak P3K. Beatrix tersentak maju. Tali selempang yang ditarik Dewa mampu membuat badannya limbung ke depan.

"Aku bawakan. Kamu tampak kelelahan!" Dewa mengambil dan menempatkan tali selempang itu di bahu kanannya, sementara bahu kirinya menenteng senjata. Mata Beatrix membulat. Senyum mengembang dari bibir di bawah hidungnya yang kembang kempis karena terengah.

"Dank u (Terima kasih)," ucap Beatrix yang terbiasa berbahasa Belanda dengan singkat

Senyuman Beatrix tertangkap sekilas oleh mata Dewa. Membuat Dewa terkesima oleh senyum manis yang dipancarkan Beatrix. Sebuah senyuman yang mirip dengan perempuan yang dicintainya, Keinan. Tersadar akan pikiran aneh, Dewa segera menepisnya. Perasaan tak lazim itu tidak boleh lagi hinggap, sehingga semakin mengukuhkan dirinya menjadi seorang gay.

Tidak ... itu tidak boleh terjadi. Bagaimana aku bisa menyamakan senyuman lelaki kurus itu dengan senyuman tunanganku? Bagaimanapun, aku adalah pria tulen yang sudah bertunangan dengan seorang gadis, bernama Himeka Keinan.

"Dasar, lelaki lemah!" ucapnya ketus menyembunyikan keterpanaannya. "Jadi laki-laki harus tegas, berwibawa. Jangan senyum-senyum tidak jelas!" tambah Dewa.

"Maksudnya bicaramu apa?" Beatrix tak mengerti kenapa Dewa marah-marah. Dahinya mulai mengkerut.

"Kamu seperti orang gila senyum-senyum begitu!" sergah Dewa dengan ekspresi dibuat tak senang.

"Apa? Gila?" Mendengar kosa kata yang meluncur di udara sontak membuat mata biru Beatrix membesar. Dikatakan seperti itu membuat Beatrix marah. "Siapa kamu mengatakan aku gila? Kalau tidak suka melihat aku, lebih baik kamu pejam mata saja. Orang aneh!"

Sebelum Beatrix meninggalkannya untuk bergabung dengan Lucas dan kawan-kawannya, gadis itu menendang kuat betis Dewa. Lelaki itu berteriak histeris karena tendangan Beatrix mampu membuat kaki lelahnya semakin nyeri.

"Deoo!" seru Dewa. Dewa belum bisa membalas, karena Beatrix lebih dulu lari. Setelah dalam jarak aman dari jangkauan pembalasan Dewa, dia berbalik memberikan ejekan kepada lelaki itu dengan menarik salah satu kelopak bawah matanya sementara lidahnya dijulurkan.

Dan kamu memberikan ekspresi ejekan seperti itu, justru terlihat tambah manis!

Sialan, aku berpikir apa ini? Dewa mengacak rambutnya frustasi.

Patris dari belakang memukul kencang punggung Dewa membuyarkan pikiran buruknya.

"Apa?" Dewa melirik tajam pastor itu yang terkekeh mendapati tingkah Beatrix dan Dewa.

"Tidak, hanya saja kamu dan Deo sungguh lucu," komentar Patris.

"Sayangnya aku bukan pelawak." Dewa menunjukan ekspresi malas kepada Patris.

"Jangan terlalu keras pada Deo," kata Patris

"Dia terlalu lembek bagi seorang anak laki-laki," kata Dewa membenarkan sikapnya.

"Iya, aku tahu. Namun, anak itu anak yang kuat di balik tubuhnya yang kurus."

Dewa memicing melihat Beatrix yang kini berjalan sejajar dengan Mike dan Brian. Melihat Beatrix tertawa lepas mendengar gurauan Brian, membuat dirinya sedikit merasa bersalah karena terlalu keras padanya. Entah kenapa, ada suatu perasaan aneh yang menyelubunginya. Dewa bahkan tak tahu apa itu. Yang jelas, setiap melihat gadis berpakaian lelaki itu, Dewa merasa melihat jati diri Keinan.

Nederland (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang