🇳🇱6. Jalan bersalju🇳🇱

833 155 48
                                    

Tidak ada suara ....

Belakang telinga Dewa terasa dingin oleh benda logam. Dewa sangat hafal bahwa benda yang sekarang menempel di telinganya adalah pucuk senjata. Dadanya berdegup kencang. Pikiran buruk bahwa dirinya disergap tentara Jerman ada di benaknya.

Ya, kali ini Dewa harus menyerah. Dia bukan lagi pejuang di garda depan seperti waktu di Indonesia. Yang Dewa perjuangkan adalah bertahan hidup supaya bisa kembali ke sisi Keinan. Mengalah ... atau tepatnya menyerah, adalah salah satu cara bertahan hidup saat ini. Maka, Dewa mengangkat tangannya dalam posisi telungkup, dan pelan-pelan berbalik.

"Ampun, aku hanya ingin ca-" Matanya membelalak saat di lihatnya ada dua lelaki yang menutup mulut menahan kikikan mereka menyembur. "Patriss ... Deo ... itu tidak lucu!"

Patris tidak tahan untuk mengerem kikikannya dan tawanya menyembur begitu saja. Biarawan itu terkekeh sambil memegang perutnya yang sakit karena tawanya yang meledak. Sampai-sampai air matanya pun meleleh. Dewa mendelik gusar mendapati kedua temannya yang sukses membuat jantungnya hampir lepas dari rongga dadanya.

"Kurang ajar kalian!" Dewa menarik tangan Beatrix dan Patris dengan kedua tangannya membuat keduanya terjerembab di dada kekar Dewa. "Kalian harus benar-benar diberi pelajaran."

Dewa mengunci leher Patris dan Beatrix, membuat mereka tidak bisa bernapas. Beatrix pun masih tidak bisa menghentikan tawanya. Ide konyolnya mampu membuat Dewa berubah pucat seperti zombie korban perang.

"Lepas, Wa. Wajahmu lucu sekali!" Beatrix berusaha menarik tangan kiri Dewa, tetapi lengan kekar itu kuat mengunci lehernya. Beatrix hanya bisa menggelepar-geleparkan kaki, seperti ikan yang tersesat di daratan.

"Dengar, kalian melewatkan makan malam kita!" sergah Dewa kesal, "Kenapa kalian bersikap konyol di saat perang seperti ini?"

Patris yang mempunyai tenaga laki-laki akhirnya berhasil mengurai ikatan kuncian Dewa, dan duduk di samping pemuda itu. Diusapnya buliran bening yang menggenang di matanya karena tawa yang tidak bisa dikendalikan.

"Ah, kamu bodoh sekali! Kenapa tidak menyangka itu kami? Dan, kenapa kamu melepaskan kelinci itu begitu saja?" Patris tidak mau kalah dan justru menyalahkan Dewa.

"Sialan! Harusnya aku yang marah, kalian sudah mengerjaiku!" Bola mata Dewa melotot dan melepas Beatrix karena gadis itu sudah terbatuk-batuk. Beatrix menegakkan badannya, ikut menumpukan pantat di tanah yang beku.

"Kami mau memberitahu bahwa Luke punya ransum walau tidak banyak. Brian tadi merampasnya dari tentara yang mati," terang Beatrix.

Dewa mendengkus kesal.

"Hah, tetap saja sepertinya kelinci bakar lebih enak!" keluh Dewa yang merasa menyesal kelinci itu lepas begitu saja saat sudah ada dalam terkamannya.

"Dan Dewa, bagaimana kalau ternyata itu tadi bukan kami? Bisa-bisanya kamu tidak waspada seperti itu dan meninggalkan senjatamu begitu saja!" sergah Beatrix dengan mata memicing tajam mengarah ke Dewa. Dewa paham dirinya salah dan terlalu fokus pada objek lain sehingga tidak waspada.

"Sudahlah ...." Dewa berkilah, tidak ingin membahas keteledorannya, "Ayo kita kembali..sebentar lagi kita berjaga." Dewa berdiri mengibaskan debu dingin yang menempel di pantatnya.

"Ingat kalian berdua, jangan pernah ulangi lagi seperti ini. Mengerti?" tandas Dewa dengan menunjuk tegas ke arah Patris dan Beatrix. Dewa berbalik, tetapi bibirnya tertarik ke samping. Dia bersyukur berada di samping 'Deo' yang polos dan Patris yang lugu, sehingga membuat dunia yang mencekam dan kelam dilewatinya dengan penuh warna dan tawa.

Ya, lebih baik kita tertawa di saat sesak, daripada meratapi keadaan

Dewa menenteng senjatanya-yang dia tinggal di balik batu-pada bahu kanan. Dengan tangan hampa dia kembali ke tempat mereka berlindung di sebuah gedung gereja yang mangkrak. Saat mereka datang, Brian terkekeh. Pria Inggris itu senang sekali menggoda Dewa dan Beatrix.

Nederland (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang