💓34. Kehidupan di Kamp💓

596 115 28
                                    

Suara keras itu mengurai pelukan Oliver pada Beatrix. Wajah Beatrix memucat, badannya tegang dan kakinya mundur selangkah menjauh Oliver.

"Ayah ...." Suara Oliver terdengar serak karena keterkejutannya membuat tenggorokan lelaki itu tercekat.

Samuel Lehmann, tentara berpangkat Mayor Jenderal itu menutup pintu, memastikan semua tirai tertutup sempurna sehingga tidak ada mata yang mengintip dan telinga yang mencuri dengar perbuatan anak lelaki satu-satunya.

Wajahnya tertekuk seperti seorang ayah yang mendapati anak lelakinya berbuat nakal. Lelaki paruh baya itu mendorong Oliver sehingga pria muda itu terhimpit ke dinding.

"Ayah sudah katakan berulang kali! Jangan bermain-main dengan perempuan Yahudi, Olive!" Bibir Mayjend Lehmann bergerak-gerak menghantarkan desisan yang sarat dengan redaman emosi.

Dua pria itu saling menatap nyalang. Wajah mereka bagai cetakan yang sama persis. Namun gurat wajah Oliver yang lebih halus itu diwariskan dari gen istri Mayjend Lehmann yang cantik.

"Ayah, kali ini, aku akan menjaga Beatrix. Sampai perang berakhir, aku akan menjaganya supaya dia tidak dipilah masuk ke dalam alam baka seperti Sarah!" kecam Oliver dengan nada sengit.

Mayjend Lehmann paham apa yang dirasakan anaknya. Mencintai wanita yang tidak seharusnya, dan membuat lelaki itu terpaksa menggiring wanitanya ke kamar uap dan membopong tubuh polos yang terkulai lemas itu ke krematorium. Sebagai ayah, hatinya perih, saat Oliver mengalami goncangan kejiwaan yang membuatnya anoreksia, dan bahkan ketakutan bila melihat masakan berbau daging.

Sarah yang sakit-sakitan selama di kamp, terpilih bersama para geriatri yang tak produktif lainnya untuk dimusnahkan. Hati Oliver hancur. Merasa bersalah dan berdosa karena membunuh wanita yang dicintai. Terlebih pekik kesakitan Sarah di saat sakratul maut yang selalu menghantui membuat kewarasan Oliver terenggut.

"Mayjend. Lehmann, kumohon, ijinkan aku menjalani hidupku sebagai manusia." Permintaan itu menumbuk batin Mayjend. Lehmann.

Mengabulkan pinta anaknya berarti menjadikan anaknya sebagai pengkhianat bangsanya.

"Ayah mohon, jangan mempersulit diri sendiri dan ayah! Kau anak satu-satunya penerus keluarga Lehmann, ayah tak akan sanggup kehilanganmu hanya karena ..." Mayor Jenderal itu menoleh ke arah Beatrix yang hanya membeku di tempatnya menyaksikan ayah dan anak yang bersitegang. "perempuan Yahudi itu!"

"Aku tidak akan mengkhianati negara kita. Aku hanya meyakinkan gadis yang kucintai itu aman dan sampai saatnya tiba dia bisa selamat terbebas dari neraka ini." Pandangan Oliver menghujam manik mata sang ayah, membuat lelaki berusia 55 tahun itu paham bahwa tekad Oliver sudah bulat.

Mayjend Lehmann melepaskan cengkeraman di kerah baju anaknya. "Saatnya tiba? Berarti kamu mengharap Jerman runtuh!" Mayjend Lehmann mendengkus. "Peristiwa tadi kuanggap tidak pernah terjadi! Jangan ada yang kedua kalinya!"

Mayjend Lehmann berbalik, mengerling sekilas gadis berdarah Yahudi itu, lalu keluar dari ruangan itu meninggalkan Oliver dan Beatrix.

"Oliver, tak seharusnya kamu bertindak demikian," ujar Beatrix dengan getaran suara yang semakin menjadi.

Oliver menghampiri Beatrix, meraih tangan kurus itu. "Aku tahu, hatimu sudah untuk Dewa, tapi ketahuilah, aku mencintaimu dengan tulus! Maka, berjanjilah padaku untuk selalu baik-baik saja."

Derai bulir bening itu semakin deras membasahi pipi Beatrix. Oliver menyapu titik air itu dengan ibu jarinya. Dan Beatrix menangkup tangan Oliver yang membelai lembut pipinya, membawa tangan besar itu untuk dicium oleh bibir mungil Beatrix.

Desiran hangat mengalir di tengkuk Oliver tatkala Beatrix mencium tangannya. "Beatrix, boleh aku menciummu?"

Gejolak itu tiba-tiba muncul. Beatrix tidak menjawab, lidahnya kelu tak bisa berkata, tetapi melihat apa yang dikorbankan lelaki itu untuknya, membuat Beatrix sulit menolak.

Nederland (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang