🇳🇱25. Perasaan🇳🇱

624 128 27
                                    

Please...kasih vote dan komen...
❤Happy reading❤

Oliver berbalik, keluar dari sel itu dan membanting pintunya dengan kasar. Dentuman keras membuat Beatrix terlonjak ke belakang. Dewa memandang kosong pintu besi tertutup yang sudah usang dengan cat yang terkelupas. Menyisakan mereka berdua—Dewa dan Beatrix—yang tercenung duduk di lantai batu nan dingin. Beatrix menoleh ke arah Dewa dengan ekspresi terheran.

"Jangan pikirkan!" hibur Dewa dengan nada sumbang yang dirinya pun tak yakin dengan apa yang sedang terjadi.

Oliver Lehmann adalah pribadi itu tak mudah ditebak. Sudah keterlaluankah perkataanku sehingga Oliver begitu marah? pikir Dewa.

Dewa tak bisa menyalahkan Oliver sepenuhnya. Nasionalisme terhadap negaranya membuat dia bertindak dengan menangkapnya. Namun, membuat Beatrix tertembak, bagian itu membuat Dewa tak terima.

Dewa berdecih dalam hati. Sungguh tololnya aku! Bisa-bisanya aku bertindak seperti anak remaja yang mempercayai persahabatan bersama seorang penjajah?

Manik mata biru Beatrix masih menatap lekat pada Dewa yang termangu. Gadis itu menaikkan alisnya dan menggerakkan dagunya ke atas, ingin tahu apa yang dipikirkan pria itu. Bibirnya tak mampu berkata-kata karena sibuk meringis menahan sakit.

"Sudah kubilang jangan terlalu dipikirkan." Dewa mulai membuka tutup botol kaca sebuah antiseptik yang mengandung povidone iodine. Beruntung botol itu tak pecah saat bawahannya melempar botol itu begitu saja.

"Tapi wajahmu menunjukkan ada apa-apanya," kata Beatrix disela-sela nyeri yang mendera.

Dewa tak menjawab. Senyuman kecutnya terbingkai di wajah. Pria itu meletakkan botol dan meluruskan kaki Beatrix. Paha putih Beatrix tak lagi putih. Kaki kurusnya kini tampak kusam dan kotor dengan tanah, dan darah. Bahkan setelah Dewa mengamati baik-baik, Dewa melihat ada serpihan jerami dan kerikil yang mengotori luka tembaknya.

Kuduk Dewa meremang. "Pasti sakit sekali," gumam Dewa saat otaknya nengingat beberapa bulan lalu dirinya juga mengalami hantaman bola timah panas yang melesat dari senapan prajurit Jepang. Ancaman serangan mikroorganisme yang ganasnya melebihi penjajah menghadangnya.

"Aku bersihkan dulu." Dewa mengambil kotoran dengan tangannya yang Dewa tahu, tangannya tak lebih steril dari luka Beatrix. Tanpa air hanya berbekal sebotol penuh antiseptik, Dewa pikir cukup untuk membuat luka Beatrix tak infeksi.

"Tahan ...." Beatrix mengerang, berteriak keras. Gadis itu mencengkeram lengan Dewa dengan keras, membuat pria itu sedikit kesakitan. Namun, tetap Dewa membiarkannya. Ketika cairan coklat itu tertuang di luka Beatrix, rasa panas dan perih mencabik tubuh gadis itu.

"Aaargghh!" teriak Beatrix tak tertahan lolos dari mulut kecilnya. Bulir bening mengalir begitu saja.

"Berikan bebat dadamu!" perintah Dewa.

"Hah? " Gadis itu masih tersengal napasnya. Tak mampu mencerna lagi apa yang masuk dalam telinganya. Beberapa kali dia mengusap keringat dan juga air matanya.

"Berikan be-bat da-da-mu!" ucap Dewa dengan pelafalan yang lebih jelas dan lambat. Beatrix spontan menutup dadanya. "Beatrix, luka ini harus ditutup, alih-alih dadamu!"

"Tapi ...."

"Kamu lepas sendiri atau aku yang melepasnya?" Dewa memberi penawaran.

Beatrix yang sedang mengelap peluh di keningnya dengan punggung tangan, buru-buru menjawab. "Aku."

Beatrix memundurkan pantat, mencari posisi nyaman bersandar di tembok. Matanya melihat luka menganga yang mengoyak otot paha. Darah segar masih merembes. Beatrix bergidik mendapati lukanya sendiri.

Nederland (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang