🇳🇱4. Memijak Bumi Nederland🇳🇱

1K 165 73
                                    

Beatrix menerawang. Pikirannya kalut dan cemas karena keputusannya meninggalkan Indonesia sungguh keputusan yang salah. Mendengar kata Yahudi disebut, membuatnya teringat nasib seorang hakim Hindia Belanda yang istrinya seorang Yahudi dan harus mendekam di kamp interniran khusus keturunan Yahudi dan Armenia di Malang.

Ingatannya membongkar bongkahan memori menyakitkan yang ingin ditimbunnya dalam-dalam. Sebuah kenangan saat sang ayah hendak dibawa ke pengasingan. Sebuah malam mencekam, ketika ayahnya menyembunyikan dirinya di suatu lorong bawah tanah.

Jenderal Van Der Beek tidak ingin anaknya berakhir di kamp sendirian, karena ibunya yang pribumi akan dibawa ke barak tentara untuk dijadikan jugun ianfu [1]. Dengan penolakan keras, demi melindungi anak dan istrinya, sang ayah ditebas katana dari tentara yang menggila. Dan ibunya... bernasib lebih tragis dari suaminya. Namun, pengorbanan orangtuanya membawa keselamatan bagi Beatrix. Setidaknya dirinya tidak bernasib terkungkung di kampwijk, sebuah kamp khusus untuk wanita dan anak-anak.

Dewa menjentikkan jari jempol dan jari tengahnya mengusir lamunan Beatrix. Gadis itu tampak sangat pucat, dengan perubahan tanda vital yang mencolok: detak jantung meningkat, dan napas menderu. Cerita yang baru saja didengar dari Patris tadi benar - benar mempengaruhinya.

"Pater Patris membual...Dia tidak akan mungkin tahu apa yang terjadi di daratan... Orang - orang di kapal ini terisolir dari berita, bagaimana kita bisa percaya desas - desus itu?" bisik Dewa. Tangannya sengaja menutupi gerakan bibir dengan tangannya, seperti perempuan perempuan menggosip. Beatrix menoleh. Perkataan Dewa ada benarnya. Dari mana rumor itu bisa tersebar?

Beatrix bangkit dengan kekuatan yang tiba - tiba menguap dari tubuhnya. Dia harus mencari udara segar untuk menjernihkan pikirannya. Saat gadis itu beranjak dan berjalan menjauh seperti mayat hidup yang lunglai, Dewa mendelik kepada Patris.

"Pater..bisakah kamu tidak bicara sevulgar itu kepada anak itu?" hardik Dewa.

"Aku bicara seperti itu, karena ingin dia lebih waspada." Patris mengeluarkan sebuah kertas dan menunjukkannya pada Dewa. "Kertas ini ... aku dapat saat sebuah pesawat lewat, mungkin ini pesan dari Tuhan bahwa kita harus hati - hati nantinya saat tiba di Belanda."

Bola mata Dewa bergulir dari ujung kanan ke ujung kiri menerima informasi yang tertulis, alisnya berkerut dengan sesekali tangannya menggulung bibir bawah. Dewa mendesah keras. Digulungnya kertas yang sudah lusuh, dan dengan tekanan keras memukul pastor yang ada di depannya. Patris mengaduh. Baru kali ini ada orang yang memperlakukannya seperti bocah.

"Hei, Dewa. Kamu tidak sopan. Aku ini pastor!!" ucap Patris

"Mau pastor, mau pendeta, kyai atau siapapun aku tidak peduli. Kamu mau aku baca apa? Aku tidak mengerti tulisan ini!" Dewa kesal memandang Patris. Dirinya tidak percaya pria muda itu adalah seorang pemuka agama.

Patris melongo, dan setelah sadar dengan perkataan Dewa dia terkekeh keras.

"Kamu marah karena kamu tidak bisa membaca tulisan ini?"

"Bukan tidak bisa membaca tapi tidak bisa mencerna bahasa yang tertulis di kertas ini," kilah Dewa. Patris berhenti tertawa seketika, merubah air muka menjadi sangat serius.

Patris merebut kertas itu dan membentangkan di atas lantai kapal.

"Lihat gambar ini, Dewa!" Telunjuk Patris mengarah pada sebuah tanda Bintang Daud. "Ini adalah simbol bangsa Yahudi, dan kamu tahu di tulisan ini? Bangsa ini akan disisihkan."

"Seperti kamp interniran sewaktu Jepang menduduki Indonesia bukan?" Dewa menebak.

"Firasatku mengatakan, akan lebih buruk dari itu." Patris menelan ludah kasar. Buku kuduknya berdiri bersamaan kalimat yang mengucur dari bibirnya. Dewa meremas kertas yang sudah lusuh itu menjadi semakin tidak berbentuk rupanya.

Nederland (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang