Vote n komen dong..
❤Happy reading❤
Oliver duduk di kursi di balik meja tulis ruang kerjanya. Pria itu memijat pelipisnya yang pening. Sesekali Oliver menghela napas berat, mengingat apa yang sudah terjadi beberapa waktu lalu.
"Beatrix, bagaimana kondisinya? Pasti sakit sekali terkena luka tembak," gumam Oliver. Namun, satu kesadaran menyusup di otak Oliver. "Oliver, apa yang kamu pikirkan? Dia gadis Yahudi! Jangan terlalu menaruh belas kasihan, Oliver!"
Lagi, pikiran Oliver dipenuhi oleh sosok gadis mungil yang seolah menari-nari di otaknya. Sekuat tenaga Oliver mengusir bayangan itu, tetapi bayangan Beatrix semakin mencengkeramnya.
Oliver mengerang kesal. Otaknya dan badannya tak bisa bekerja sama. Kini, Oliver sudah berada di depan sel tempat dirinya menyekap Beatrix dan Dewa.
Oliver hanya mondar-mandir di depan. Sesekali memasang telinga, menangkap suara dari dalam sel.
Mereka sedang apa? Kenapa tidak ada suara?
Oliver menghampiri pintu, menempelkan telinganya di pintu besi yang dingin.
Tak ada suara manusia. Yang ditangkap gendang telinga Oliver hanya bunyi dentingan kaca dan seretan benda di lantai.
Mereka meditasi atau bagaimana?
Fokus Dewa masih ingin meraup suatu sumber bunyi dari balik pintu. Mungkin Oliver sudah gila, tak mempedulikan nalar yang melarangnya. Tiba-tiba didengarnya suara erangan keras dari Beatrix.
"Arrggh, pelan-pelan." Suara Beatrix terdengar merintih dari dalam sel.
Namun, rintihan dan erangan itu diasumsikan lain oleh otak Oliver.
Oliver Lehmann, apa yang kamu pikirkan?
Tetap saja Oliver membayangkan sesuatu yang erotis di otaknya. Oliver memukul kepalanya sendirinya, menyadarkan logikanya. Tak mungkin Dewa berbuat macam-macam.
Lagi, Oliver mendengar suara lamat-lamat dari balik pintu. Matanya semakin memicing. Hanya suara tak jelas yang didengarnya, membuat Oliver frustasi tak jelas. Lelaki kekar itu bergerak hilir mudik, sambil mengelus dagunya yang mulai ditumbuhi bakal jambang.
Oliver menjentikkan jemarinya. Sebuah ide muncul di kepalanya, membuat Oliver tersenyum senang. Segera dia bergegas kembali ke ruangannya, dan mendapati lemari. Satu buah baju ditariknya, dan secepat kilat dia sudah berada di tempat yang sama—di depan sel Dewa dan Beatrix.
Oliver sudah memegang kunci duplikat dan saat membuka, dilihat dua orang yang duduk bersandar di tembok batu dingin dengan pandangan kosong. Pandangan Oliver tertuju pada Dewa yang juga melihatnya.
"Mau apa lagi kamu?" Dewa sudah pasrah, merasa hidupnya tinggal beberapa saat lagi.
Oliver melemparkan baju di depan Dewa. "Kenakan baju ini!"
Dewa menatap baju yang sekarang teronggok di depannya. "Untuk apa?" Nada suara Dewa masih sama ketus.
"Tidak usah bertanya. Aku akan mengeluarkan kalian dari markas!" Mata Dewa membelalak tak percaya. "Jangan berbesar rasa. Aku masih punya hati nurani. Aku tak ingin dihantui oleh Beatrix bila dia mati. Lagi pula, kalau kamu lama-lama bersama le-la-ki i-ni, aku yakin kamu akan diterkam hidup-hidup." Dewa membulatkan mata, tak percaya perkataan Oliver.
"Hei, apa maksudmu? Aku bukan laki-laki seperti itu!" protes Dewa.
Beatrix berdecak. "Tidak lucu, Oliver. Bilang saja kamu ingin membantu kami." Wajah Beatrix kuyu menahan nyeri yang tidak bisa ditahan. "Ayo, Dewa! Kenakan baju itu sebelum Oliver berubah pikiran."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nederland (Completed)
Ficción históricaDewa Pamungkas, seorang gerilyawan yang terdampar di negeri Belanda. Terpisah dari kekasih yang akan dinikahi, membuat Dewa harus bertahan untuk memenuhi janji kembali di Indonesia. Beatrix Van Der Beek, gadis Belanda berdarah Yahudi yang menyembuny...