🇳🇱8. Menuju Leiden🇳🇱

689 130 45
                                    

Jantung Beatrix berdetak kencang. Bahkan telinganya bisa mendengar setiap dentuman organ vitalnya memompa darah. Beatrix yakin adrenalinnya sudah terpacu membuat reaksi tubuh yang tidak dapat dikendalikan. Derap langkah tentara yang mendekat itu membuat pucat wajahnya. Mata biru Beatrix menatap Dewa, bergantian ke arah Lucas. Mereka hampir pasrah.  Sampai Elis memberikan solusi atas permasalahan mereka.

"Kalian ... berlindunglah ke ruang bawah tanah!" desis Elis. Elis menunduk, membongkar kayu perapian, memperlihatkan sebuah lantai di mana ada gagang besi. Lucas berdiri, melongokkan kepala melihat apa yang dikerjakan wanita itu. Setelah Elis mengangkat gagang besi itu dengan lampin untuk menghindari panas, sebuah ruang gelap terbuka di dalamnya.

"Ayo!" desis Elis sekali lagi sambil membelalakan mata, menyuruh tamunya segera bersembunyi. Tanpa pikir panjang Dewa menarik Beatrix. 

"Tidak ... aku tidak mau." Beatrix mencengkeram pinggiran kursi. Mata Beatrix menatap ngeri lubang hitam yang ada di lantai perapian. Tentara yang lain bersama Patris sudah melesat masuk ke dalam lorong bersama mangkuk dan roti sisa. Membuat ruang itu seolah tidak terjadi apa-apa--tidak ada yang berkunjung.

"Deo, tenang. Ada aku." Bisikan Dewa terasa terdengar tertekan. Dewa gelisah melihat ke arah celah korden di jendela. Tentara berbaju hijau itu semakin mendekat. Lelaki tampak frustasi dan mengacak rambutnya. "Waktu kita tidak banyak. Ayo!"

Dewa menuntun atau lebih tepatnya menarik tubuh Beatrix yang susah diajak kerja sama. Dipaksanya tubuh kecil itu masuk lubang sempit di bawah perapian. Gedoran pintu sudah bertalu-talu. Begitu Beatrix masuk Dewa kemudian melesak masuk, sehingga Elis bisa menutup pintunya dan mengembalikan kayu seperti semula.

***

Beatrix menuruni tangga sempit di bawah tanah. Ruangan itu sungguh pengap dan lembab. Saking lembabnya air menetes dari atas atap. Tetesan itu mengagetkan Beatrix, membuat Beatrix spontan memekik. Sebelum suaranya keluar, Dewa sudah membekapnya. Semua yang ada disitu menahan napas. Kalau saja Dewa tidak cepat membekap mulutnya, mereka yakin tentara Jerman itu akan menemukan dan mengobrak abrik tempat itu beserta pemiliknya.

"Tenang ... tenang ... ada aku disini!" Beatrix meronta meminta dilepaskan. Mata birunya membulat. Dadanya kembang kempis. Cairan yang menetes di kepalanya mengingatkan darah sang ayah yang merembes dari celah pintu lorong bersatu dengan air matanya. Membuat memori buruknya kembali melintas di otak.

Kegelapan yang pernah membelenggu kewarasannya. Hanya menangis dan terisak seorang diri, mengamati dari celah bagaimana ayahnya mengejang meregang nyawa. Buliran bening sekarang merembes keluar dari permukaan bola matanya. Membasahi punggung tangan Dewa yang enggan melepaskan bekapan di mulutnya.

"Ssstt ...." Seperti menenangkan seorang bayi, Dewa berdesis. Suara itu membuat Beatrix seolah kembali dalam rahim sang bunda. Desisan Dewa lambat laun menenangkan gadis yang tubuhnya bergetar hebat. Pelan-pelan dilepaskan tangan kekar Dewa dan disambut rangkulan erat di badan kekar Dewa. Membenamkan dirinya menangis tertahan di tubuh lelaki itu, dalam ketakutan yang mencekam.

"Sudah, kita duduk dulu. Menangislah sesukamu setelah ini."

Dewa menggiring tubuh kecil itu duduk di salah satu sisi ruangan yang agak longgar. Dalam gelap, Lukas, Brian, Michael, dan Louis saling berpandangan. Tingkah laku Beatrix sungguh tidak mencerminkan sikap seorang lelaki jantan. Anehnya, Dewa dengan sabar mengurus lelaki cengeng itu.

"Untung ada Dewa. Coba kalau dia manja seperti itu ke aku," ujar Michael berbisik, tak sabar dengan polah Beatrix. Louis dan Brian hanya mengacungkan telunjuk di depan mulutnya, memberi tanda agar Michael tak perlu menghiraukan sikap Beatrix.

Dalam ruang berdinding batu itu, Dewa menyandarkan punggungnya. Wajah Beatrix tidak mau dijauhkan dari dada Dewa membuat geraknya terbatas. Gadis itu mencengkeram baju Dewa. Tubuhnya yang ikut duduk di samping Dewa meliuk karena wajahnya membenam di dada bidang itu. Dewa hanya bisa mendesah tak berdaya. Semanja-manjanya Keinan, perlakuan Beatrix,yang diketahui identitasnya sebagai Deo, lebih bahkan sangat parah. 

Nederland (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang