Beatrix terdiam. Mata birunya menatap lekat manik mata milik Dewa Pamungkas. Reaksinya datar, tak menunjukkan emosi, layaknya raga yang nyawanya telah tercabut.
Dewa pun hanya terdiam, tidak berkata apapun lagi saat mendapati gadis itu hanya membeku mengunci bibir. Dan hari selanjutnya, Dewa tetap mendapati seorang gadis yang tak mempunyai asa, dan pandangannya kosong. Seolah kabut kesedihan menyelinap di kalbunya.
Beatrix, kenapa dia seolah berubah menjadi janda yang meratap, alih-alih seperti kehilangan kekasih?
Dewa ingin menghibur, tetapi tak tahu kata penghiburan apa yang tepat. Haruskah aku menjanjikan untuk tinggal? Sementara hati Beatrix sudah beralih untuk seorang tentara Jerman itu.
Kegalauan Dewa membuncah, saat tentara Sekutu memberi tahu bahwa Oliver Lehmann telah tiada di kamp konsentrasi Auschwitz karena sepsis dan perdarahan akibat luka tembak di punggung dan dadanya.
Saat itu juga hati Dewa seperti dihantam palu bertubi, mendapati gadis itu kembali meraung tak terkendali bagai orang gila.
"Biarkan aku bertemu dengan jasadnya!l!" Beatrix memohon.
"Deo, kumohon. Tenanglah!" pinta Dewa dengan sangat.
"Kumohon kembalikan Oliverku! Kembalikan! Dewa ... kumohon kembalikan Olive!" Beatrix meremas kerah kemeja Dewa dan mengguncang-guncangkan badan kekar itu. Dewa hanya bisa diam, tak bisa berbuat apa-apa.
Patris melerai cengkeraman Beatrix, berusaha menenangkan gadis itu. Sedangkan tentara Sekutu keheranan ada seorang gadis Yahudi yang meratapi kepergian seorang tentara SS yang mendera kaumnya.
"Beatrix, kita doakan Oliver agar beristirahat dalam damai." Patris merengkuh badan gadis itu.
"Harusnya aku yang mati, Pater! Kenapa harus dia? Kenapa aku mengorbankan banyak nyawa agar aku bisa bernapas? Seolah agar aku hidup, aku harus mengorbankan orang baik di sekitarku menjadi tumbal!" Beatrix menangis mencengkeram kuat lengan Patris hingga lelaki itu merasa perih.
"Beatrix, Tuhan sedang merenda karya yang luar biasa dalam hidupmu! Dia tidak akan mungkin memberikan cobaan yang melebihi kekuatanmu! Dan, orang-orang itu memang Tuhan kirimkan untuk melindungimu. Tuhan memberi kamu kesempatan hidup berarti memang Tuhan mempunyai maksud." Patris merangkai kalimat keimanannya, berusaha meneguhkan keyakinan Beatrix yang goyah.
"Aku lelah! Aku lelah untuk bertahan hidup! Setiap saat mendapati orang yang aku sayangi, meninggalkanku dengan cara yang mengenaskan," kata Beatrix lirih. "Papa, Mama, Tuan dan Nyonya Sneijder, dan sekarang aku kehilangan Oliver."
Dewa hanya mengeratkan kepalan tangannya mendengar semua rintihan Beatrix. Rahangnya mengerasnya menahan emosi kesedihan yang sama bahkan lebih dashyat dari apa yang dialami Beatrix.
Ingatan melayang pada suatu malam di tahun 1944, ketika dirinya masih berada dalam Achterhuis.
***
September 1944
Musim panas di Leiden terasa sangat gerah. Malam itu, saat Beatrix sudah terlelap, sengaja Dewa turun ke bawah untuk sekedar mencari angin segar. Tak sengaja saat hendak melewati dapur, Dewa mendengar pembicaraan Tuan dan Nyonya Sneijder.
"Pasukan SS sepertinya bergerak cepat. Mereka tak hanya mencari orang Yahudi saja, tapi kemarin aku melihat mereka juga menangkap salah seorang remaja perempuan peranakan Afrika. Padahal ibunya adalah orang Jerman." Nyonya Sneijder bercerita dengan nada prihatin.
Melihat istrinya gelisah, sang suami menenangkan. "Semoga mereka selamat di Achterhuis."
Mendengar hal itu, urung Dewa keluar. Pria itu menyimpulkan bahwa kondisi di luar sedang tidak kondusif, dan lebih baik dia mengurung diri bersama Beatrix di ruang rahasia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nederland (Completed)
Historical FictionDewa Pamungkas, seorang gerilyawan yang terdampar di negeri Belanda. Terpisah dari kekasih yang akan dinikahi, membuat Dewa harus bertahan untuk memenuhi janji kembali di Indonesia. Beatrix Van Der Beek, gadis Belanda berdarah Yahudi yang menyembuny...