Perpisahannya dengan Beatrix menyisakan kegalauan. Akankah keputusannya untuk meninggalkan gadis itu kembali ke Indonesia adalah keputusan yang benar?
Dewa hanya bisa menjalani sisa harinya di biara dengan kegelisahan hebat. Sudah banyak keputusan aalah yang dibuatnya. Mulai saat meninggalkan Keinan di hutan itu dan tidak menuruti kata hati tunangannya, hingga dia menepis perasaan Beatrix dengan dalih kesetiaan. Dan saat cinta itu muncul, justru dia menutup hatinya, memilih mencintainya dalam diam karena tidak bisa menjamin keselamatannya.
Dewa duduk di bangku taman di halaman biara siang itu. Udara hangat di musim semi, menerpa wajahnya. Lelaki itu memerosotkan posisi badannya sehingga lehernya bersandar di ujung sandaran punggung kursi kayu yang sudah mengelupas catnya.
Matanya memicing, saat wajahnya menantang matahari yang memberikan pijaran kehangatan untuk bumi. Namun tetap hatinya terasa dingin, dingin oleh kesepian, kerinduan dan penyesalan.
"Aku harus memilih, Keinan atau Beatrix. Akankah Keinan menungguku? Pasti, dia pasti menungguku. Atau haruskah aku merengkuh Beatrix? Bisakah aku menghapuskan perasaannya pada Oliver?" Gumaman itu terus keluar dari bibirnya. Birai mulutnya komat-kamit seperti merapal mantra.
"Wa ...," sapa Patris yang ikut duduk di sampingnya. Biarawan itu meletakkan sapu bergagang setelah menyelesaikan menyapu taman belakang.
"Ehm ...." Dewa tetap pada posisinya, dengan mata memejam, masih membiarkan sinar matahari membelai wajahnya.
"Kamu tidak mau menemui Beatrix?" tanya Patris.
Dewa menggeleng. "Kalau aku menemuinya, aku khawatir aku tidak bisa melepasnya," ujar Dewa.
"Kenapa khawatir?"
"Aku sudah memutuskan pulang ke Indonesia. Ingin menemui Keinan. Bagaimana pun kami masih bertunangan," kata Dewa.
Patris berdecak. "Aku kira Keinan pasti menganggapmu telah mati dan dia akan melanjutkan hidupnya. Bertemu pria yang juga mencintainya."
"Jadi, aku harus bagaimana?" tanya Dewa.
"Temuilah Beatrix. Jangan ada penyesalan di antara kalian, apapun keputusannya." Patris memberi saran.
Dewa mempertimbangkan saran Patris. Berhari-hari, bahkan 3 bulan kemudian barulah Dewa memutuskan untuk bertemu dengan gadis itu.
***
Juni 1945Dewa menempuh perjalanan dari Maastricht ke Den Haag, menemui Beatrix di kediaman keluarga Van der Beek. Dewa cukup terperangah karena keluarga ini ternyata sangat terpandang.
Mereka tinggal di sebuah mansion di pinggiran kota Den Haag. Di halaman depan terdapat danau kecil buatan dimana terdapat angsa putih berenang-renang. Danau itu dikelilingi bunga tulip berwarna merah dan putih bersemburat merah muda di sekelilingnya.
Mendapati kenyataan itu, ciutlah hati Dewa ketika menyadari Beatrix lahir dari keluarga terpandang. Di Hindia Belanda pun, nama Jenderal William Van der Beek yang tersohor, membuat Beatrix berada di golongan atas strata sosial kala itu, walaupun ibunya seorang pribumi. Sedang di Kerajaan Belanda, Beatrix adalah cucu perempuan satu-satunya keluarga Van der Beek yang kaya raya.
Saat memasuki kawasan kediaman Van der Beek yang Dewa tebak luasnya hampir separuh kampung di desanya di Magelang, Dewa disambut oleh seorang pelayan berpakaian hitam dan bercelemek putih.
Perempuan itu mempersilakan Dewa masuk, untuk menunggu nona rumah itu. Dewa kembali takjub saat memasuki kediaman itu.
Begitu masuk, Dewa dihadapkan tangga melingkar menuju ke lantai dua. Di sebelah kiri terdapat ruangan seperti ruang tamu yang bergabung dengan ruang bersantai keluarga. Ketika dipersilakan duduk di ruangan tamu itu, matanya mengedarkan pandang. Banyak sekali lukisan bertema abad pertengahan yang terpajang di dinding yang dilapisi wallpaper.
Di salah satu sisi terdapat perapian dan di sudut ruangan diletakan piano klasik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nederland (Completed)
Ficción históricaDewa Pamungkas, seorang gerilyawan yang terdampar di negeri Belanda. Terpisah dari kekasih yang akan dinikahi, membuat Dewa harus bertahan untuk memenuhi janji kembali di Indonesia. Beatrix Van Der Beek, gadis Belanda berdarah Yahudi yang menyembuny...