Matahari sudah terbit dari ufuk timur, beberapa jam weker pun sudah bordering nyaring untuk membangunkan majikannya. Netra merah menyala pun bangkit dari tidurnya. Sesekali ia berkedip untuk mengumpulkan kesadarannya.
Tanpa mengeluh atau bergumam, ia berdiri dan berjalan keluar dari kamarnya. Kakinya membawa ia ke depan pintu kayu dengan hiasan pintu bertuliskan nama dari pemilik kamar. "Gempa".
Tangan kanannya mengetuk pintu sebanyak dua kali dengan perlahan, kemudian ia menyebut nama pemilik kamar tersebut.
"Gempa, sudah saatnya untuk bangun."
Sayup-sayup terdengar langkah kaki dari dalam kamar, selang beberapa detik pintu yang sebelumnya diketuk pun terbuka. Remaja laki-laki dengan netra sewarna madu menyapa saudaranya.
"Pagi, Halilintar." suaranya yang lembut seakan berhasil menutupi sisi galaknya.
"Pagi," balas Halilintar sambil mengukir senyum tipis.
Gempa berjalan maju dan Halilintar berjalan mundur untuk memberikan ruang bagi Gempa berdiri. Pintu yang sebelumnya terbuka, ditutup oleh Gempa dengan perlahan. Ia enggan membangunkan saudaranya yang lain.
"Sarapan apa yang kau inginkan hari ini?" Gempa terlebih dahulu meninggalkan Halilintar ke lantai dasar.
Aku menginginkanmu. Halilintar ingin menjawab demikian, tetapi ia tidak ingin mendapatkan pukulan telak di wajahnya karena berani menggoda saudaranya.
"Apapun yang kau masak pasti akan kumakan." Halilintar mengekori Gempa ke lantai dasar, ada beberapa pekerjaan yang akan mereka kerjakan bersama.
Saat sampai di lantai dasar, Halilintar mendapati Gempa tengah memeriksa isi kulkas sambil sedikit membungkuk. Wajah Gempa terlihat kebingungan, sepertinya ia tengah kekurangan bahan makanan. Tentu ia tidak dapat memasak dalam porsi sedikit mengingat ia tinggal dengan enam saudaranya.
"Apa ada masalah?" Halilintar bersandar di samping kulkas.
"Kurasa setelah memasak sarapan aku harus pergi ke supermarket, kau bisa menemaniku?" Gempa yang sebelumnya membungkuk kini bangkit berdiri tegak.
Pemilik netra merah itu tidak dapat menolak. "Tentu saja."
Jawaban Halilintar yang memuaskan Gempa mendapat sebuah hadiah berupa senyuman secerah matahari. Kemudian Gempa mengucapkan terima kasih dengn tulus.
Halilintar merasakan jantungnya berdetak begitu cepat, ia tidak kuasa menahan nafsunya kala melihat Gempa yang tersenyum begitu tulus padanya. Sungguh beruntung dirinya boleh mendapatkan Gempa menjadi kekasihnya dalah ikatan cinta terlarang.
Gempa menutup pintu kulkas usai mengeluarkan semua bahan makanan yang akan ia gunakan untuk membuat sarapan.
"Gempa ...."
Gempa yang terpanggil, menoleh ke sumber suara. Menemukan Halilintar yang menatapnya begitu dalam. Gempa mematung, kaku saat mendapat tatapan sedalam itu dari kekasihnya.
"Ha-Hali ... ada apa?" wajah Gempa merona merah.
Halilintar yang melihat perubahan warna pada wajah Gempa segera saja mendorong Gempa sehingga punggungnya menyentuh pintu kulkas. Siku kiri Halilintar diletakan di samping kepala Gempa, membuat Gempa masuk ke dalam kabedon-nya.
"Ha-Hali ...." Gempa menahan dada Halilintar saat merasa wajah mereka semakin dekat. Ia juga memalingkan wajah ke kiri, enggan menatap netra merah yang terus menghantuinya.
"Tatap aku, Gempa." titah Halilintar. Tangan kanannya yang menganggur akhirnya ia gunakan untuk menarik dagu Gempa. Ia memperlakukan Gempa selembut mungkin, ia enggan melukai orang yang paling ia sayangi.
Gempa terpaksa menatap kembali netra merah menyala itu. Seakan ia ditusuk sangat dalam hanya oleh sebuah tatapan mata, ia merasa akan mati jika terlalu lama ditatap seperti itu.
"Biarkan aku, satu kali ini ...." Halilintar kembali membunuh jarak di antara mereka. Mencoba kembali mempertemukan bibir kenyal mereka.
"Ha-Hali ..." Gempa ingin menolak tetapi ragu. Dorongannya pada dada bidang Halilintar semakin melemah saat napas Halilintar mengusap wajahnya.
Mata sewarna madu itu bersembunyi di balik kelopak mata ketika jarak antara bibir mereka hanya tinggal beberapa sentimeter. Halilintar yang memegang kendali penuh merasa begitu bangga dan ingin segera melumat bibir kekasihnya pagi itu.
"Hoaam~ Gempa, apa kau sudah selesai memasak sarapan?" suara yang tidak asing itu menyapa telinga Halilintar dan Gempa.
Serangan Halilintar yang melemah membuat Gempa segera melawan balik dengan mendorong dada Halilintar sekuat tenaga, membiarkan jarak di antara mereka terus bertambah. Halilintar berdecih kesal.
"Solar, kau bangun pagi?" Gempa menghampiri saudaranya yang lain.
"Hari ini aku ada janji dengan Fang, dia ingin menemaniku untuk membeli beberapa buku." Solar melempar dirinya ke sofa, seakan hendak kembali tidur di sofa.
"Apa kau akan pergi setelah sarapan?" Gempa mendekat.
"Tidak, aku akan pergi sebelum makan siang. Dia juga janji akan mentraktirku makan siang di salah satu restoran China yang dekat dengan toko buku." Netra miliknya bertemu dengan netra madu milik Gempa.
"Kalau begitu pulanglah sebelum makan malam tiba," ujar Gempa sambil tersenyum.
Solar mengangguk. Ia sangat mengerti jika saudaranya itu jauh lebih memilih makan di rumah disbanding membeli makanan di luar, Gempa juga punya alasannya sendiri. Semuanya juga mengerti bahwa Gempa ingin kebersamaan di antara mereka tidak memudar.
"Belakangan ini kau sering sekali pergi bersama bocah itu," komentar Halilintar.
"Tidak masalah, 'kan?" Solar kini menatap netra merah itu tanpa takut, bahkan terlihat seakan tengah menantang.
"Aku hanya tidak ingin kau bergaul dengan orang yang salah, bisa saja dia itu hanya orang mesum yang menginginkanmu."
"Aku dan Fang tidak berpacaran!" Solar langsung berdiri saat mengucapkan bantahannya.
"Aku tidak mengatakan jika kau dan dia berpacaran, aku hanya tidak suka dengan orang asing sepertinya." Halilintar tampak kesal melihat dirinya ditentang oleh salah satu saudaranya.
"Lagipula dia tidak mesum, kau yang mesum!" Solar menunjuk Halilintar dengan kasar.
"Aku mesum? Sejak kapan?" cepat sekali Halilintar melupakan dirinya yang baru saja hendak mencium Gempa.
"Bukankah tadi kau memojokkan Gempa dan hampir menciumnya?" Solar membuat Halilintar dan Gempa mematung. Keadaan menjadi hening.
Gempa dan Halilintar mendapati wajahnya memanas dan sudah dipastikan merona merah. Namun Solar justru terkejut, ia menatap kedua saudaranya dengan tatapan tidak percaya.
"Jadi kalian benar-benar melakukannya!?" sorakan Solar terdengar menggema.
"Jadi kau tidak benar-benar melihatnya!?" sedangkan Gempa dan Halilintar bersorak serentak.
Saat sarapan dimulai, Gempa, Halilintar dan Solar terdiam dan fokus pada sarapannya masing-masing. Sedangkan tiga orang pencipta kerusuhan tampak tidak menyadari atmosfer yang berbeda di meja makan.
"Hey, bagaimana kalau nanti kita pergi ke Sport Station? Kudengar disana sedang ada diskon besar-besaran khusus pelajar!" Taufan mengusul sebuah ide di Minggu pagi yang cerah.
"Boleh, boleh, kebetulan aku sedang mencari sepatu lari baru." Blaze yang belum selesai mengunyah nasi di mulutnya memaksakan diri untuk berbicara, sehingga beberapa butir nasi tersembur keluar.
"Blaze, telan dulu makananmu." Ice yang awalnya enggan ikut campur akhirnya angkat suara saat beberapa butir nasi itu hampir mengenainya.
"Di dekat Sport Station ada took tanaman, aku mau mampir ke sana!" Thorn yang baru saja menenggak air dari gelasnya enggan ditinggal oleh dua saudara terdekatnya.
"Oke, kita akan berangkat bersama!"
-To Be Continue-
-Narake-
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Storyline
Fanfiction[COMPLETE] . . Volume 2 [On-Going] . . Kini ketujuh saudara itu sudah menginjak usia remaja. Semuanya sudah berada di jenjang terakhir dalam persekolahan, selanjutnya hanya perlu menaiki tangga perkuliahan. Di sini semua masalah, suka dan duka, tawa...