21. Permintaan Maaf

1.8K 158 33
                                    

Senyum yang sebelumnya mekar dengan indah di wajah Taufan mendadak lenyap mendengar pengakuan Gempa. Napasnya sempat terhenti selama beberapa detik karena kaget mendengar kalimat yang dilontarkan Gempa. Ditambah bibir Gempa yang gemetar membuat suara Gempa terdengar ikut bergetar.

Wajah Gempa tampak tengah menahan sesuatu yang sudah lama ia pendam. Taufan belum mengetahui secara pasti apa itu, tetapi hal itu terlihat sudah cukup untuk membuat hatinya terasa perih.

"A-apa maksudmu?" keadaan hening yang sebelumnya tercipta membuat Taufan merasa tidak nyaman, sehingga ia memutuskan untuk memulai kembali obrolan di antara dirinya dan Gempa.

"Maaf jika ini akan menyakitimu, tapi apa kau ingat saat awal aku dan Hali berpacaran?" Gempa tertunduk, tetapi ia terlalu takut untuk menatap manik safir Taufan yang tengah menatapnya.

Ucapan Gempa memang benar berhasil membuat hati Taufan perih, tetapi Taufan yakin Gempa melakukannya bukan tanpa alasan. Perlahan kepala Taufan terangguk beberapa kali dan bibirnya berucap, "Iya."

"Aku menyadari beberapa bulan setelah aku dan Hali pacaran kau menjaga jarak. Aku belum menyadari apa yang membuatmu berbuat seperti itu." Kedua tangan Gempa mengepal kuat sampai tangannya gemetar.

Taufan hanya diam mendengar penjelasan Gempa. Semua yang dahulu ia lakukan memang benar adanya, ia sempat menghindari saudaranya itu. Namun bukan karena ia membenci Gempa yang merebut Halilintar darinya, seumur hidup Taufan tidak pernah membenci satu pun saudaranya.

"Aku takut jika aku melakukan hal yang membuatmu tidak nyaman, aku takut kau membenciku. Pada akhirnya aku menanyakan hal itu pada Blaze, tetapi ia tidak menjelaskan banyak hal padaku." Tangan Gempa tidak lagi terkepal, tetapi tangannya beralih meremas kaosnya sendiri.

Tidak banyak yang Taufan lakukan selain mendengar penjelasan dari Gempa yang bahkan tidak pernah Taufan sadari. Ia terkejut menyadari bahwa perbuatannya dahulu membuat Gempa merasa dibenci, walaupun sebenarnya tidak demikian.

"Namun yang pasti dia mengatakan bahwa kau tidak pernah terlihat membenciku. Jujur saja aku merasa sedikit lega mendengar pengakuan dari Blaze." Sebuah helaan napas terdengar oleh Taufan dan dipercaya berasal dari Gempa yang tengah mencoba untuk tersenyum senatural mungkin. Remasan Gempa pada kausnya melonggar, menandakan dirinya sudah sedikit lebih tenang.

Melihat gerakan kecil yang dilakukan Gempa itu membuat Taufan ikut lega. Setidaknya ia mulai membuat saudaranya merasa nyaman.

"Semenjak itu aku mulai mengacuhkan tingkahmu yang lambat laun tidak lagi menghindar, dan aku senang melihatnya. Apalagi saat kita mengobrol bersama tanpa ada perasaan yang mengganjal, aku sangat senang." Suara Gempa terdengar mulai parau, tetapi Taufan belum melihat setetespun air mata yang mengalir di pipi Gempa yang mulai merona.

Mengingat apa yang baru saja Gempa katakan, rasanya hati Taufan menghangat. Ia sendiri juga menikmati saat-saat ketika dirinya dan Gempa menjadi sangat dekat, sekali pun Halilintar sering kali datang dan membuat suasana berubah.

Setidaknya ketika Gempa tidak dapat menemaninya, masih ada Blaze dan Thorn yang sering membuatnya tertawa terbahak-bahak. Bahkan karena mereka Taufan berhasil kembali ceria seperti biasa dan menebarkan canda tawa dalam keluarga kecil mereka.

"Namun baru beberapa bulan ini aku menyadari hal lain. Ketika kau berinteraksi dengan Hali, raut wajah dan suasana perbincangan kalian sangat berbeda. Rasanya seperti ada yang mengganjal dan membuat aku yang melihatnya jadi tidak nyaman." penjelasan Gempa membuat Taufan tersentak kaget.

Taufan sadar sepenuhnya jika dirinya kurang nyaman berinteraksi dengan Halilintar, apalagi jika hanya ada mereka berdua. Rasanya ia ingin merobek dadanya dan mengeluarkan hatinya yang terus menerus terasa sakit. Rasanya tidak nyaman.

"Se-sebenarnya itu karena ... " Taufan menggantungkan kalimatnya.

Gempa menghela napas dan akhirnya menatap mata safir Taufan. "Kau menyukainya, 'kan?"

Taufan meremas celananya sendiri, menahan rasa perih dalam dadanya saat Gempa mengucapkan apa yang hendak ia ucapkan. Dadanya sakit bukan karena Gempa yang berstatus sebagai kekasih Halilintar, ia hanya ingin menangisi nasib sialnya. Ia tidak pernah menyalahkan Gempa.

"Maaf, aku baru menyadarinya." Setetes air mata jatuh tepat pada punggung tangan Taufan.

Remasan Taufan pada celananya melonggar saat menyadari air mata itu bukanlah miliknya. Ia mendongak dan melihat Gempa menangis di depannya.

Tangan kanan Gempa bergerak menghapus air mata yang tidak kunjung berhenti mengalir keluar. Taufan segera berdiri dan memeluk tubuh saudaranya, ia tidak bisa membiarkan Gempa menangis di depannya, terlebih karena dirinya.

"Halilintar tidak menyadari perasaanmu karena dirinya terlalu tidak peka. Tapi aku belum mengatakan apa-apa soal ini pada Halilintar." Kedua tangan Gempa meremas baju Taufan yang sudah basah karena air matanya. Dadanya terasa sesak karena rasa bersalahnya pada orang yang tengah memeluknya.

"Tidak apa, Gem. Kau tidak perlu mengatakannya pada siapapun, ini semua sudah cukup." Pelukan Taufan pada Gempa mengerat. Dirinya tengah menahan air mata yang tengah terkumpul di pelupuk matanya.

"Maafkan aku, Tau. Aku bukan saudara yang baik." Isak tangis Gempa membuat hati Taufan semakin perih.

"Ini bukan salahmu, kau tidak perlu menyalahkan dirimu seperti ini." Tangan Taufan bergerak mengusap punggung Gempa yang gemetar karena isak tangisnya. Sebaik mungkin ia mencoba menenangkan Gempa.

"Aku tidak pernah sekali pun berpikir untuk membencimu karena masalah ini. Ini juga bukan salah Hali karena tidak menyadari apa yang aku rasakan. Ini hanya sebuah kesalahpahaman."

Ucapan Taufan membuat Gempa sedikit tenang. Setidaknya saat ini ia berhasil mengontrol napasnya sehingga ia dapat bernapas dengan normal, meskipun air matanya belum juga berhenti mengalir. Usapan yang Taufan berikan berarti banyak bagi Gempa. Rasa bersalahnya mulai memudar karena Taufan yang terus-menerus memberikan sentuhan yang membuatnya tenang. Entah darimana Taufan memperlajarinya, tetapi Gempa merasa Taufan cukup pandai dalam menenangkan seseorang.

"Terima kasih, kau sudah memaafkanku." Gempa menatap Taufan dengan sebuah senyum yang terukir di wajahnya. Hal itu membuat Taufan melonggarkan pelukannya, kemudian ia memekarkan sebuah senyum di bibirnya.

"Tidak masalah." Taufan menjawab. Sekali lagi ia memamerkan deretan gigi putih kebanggaannya.

Keduanya saling melempar senyum dan tidak berbicara selama beberapa saat. Manik mereka saling bertabrakan dalam rasa yang tidak dapat digambarkan. Napas mereka kini lebih tenang dari sebelumnya, perasaan mereka pun sudah tidak lagi kacau.

Taufan melangkah mundur seraya membuat jarak antara dirinya dan Gempa melebar. Senyum di bibirnya masih mekar begitu indahnya.

"Aku sudah menemukan orang lain yang akan membawakan kebahagiaan untukku, dan sudah banyak orang yang mendukungku termasuk dirimu." Tangan kanan Taufan bergerak menepuk pelan dadanya sendiri. Dalam sekali dengar pun Gempa sudah mengerti apa yang Taufan maksud.

"Tentu saja aku akan mendukung hubunganmu dengannya. Ini juga bukan karena aku masih merasa bersalah padamu, aku hanya ingin kau ikut bahagia sama sepertiku." Deretan gigi Gempa terpampang membuat hati Taufan menghangat.

-To Be Continue-

-Narake-

Our StorylineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang