10. Kisah Segelas Pudding

2.3K 176 22
                                    

Solar turun dengan hati-hati dari motor milik Fang, tidak lupa ia mengembalikan helm yang sebelumnya dipinjamkan oleh sang pemilik motor. Ini merupakan kali kedua Solar diantar pulang oleh Fang dengan motornya.

"Hey, apa kau ingin mampir dulu?" Solar menunjuk ke arah rumahnya menggunakan ibu jarinya.

Fang menggeleng dengan helm yang masih terpasang di kepalanya. Ia masih belum siap untuk berkunjung ke rumah Solar, sepertinya ia perlu mempersiapkan hal agar ia mudah memperoleh restu dari saudara kembar Solar. "Tidak perlu."

"Kau yakin?" Solar menelengkan kepalanya sambil masih menatap lurus ke arah Fang.

Fang terkekeh pelan, tangan kirinya terulur untuk menepuk puncak kepala Solar beberapa kali. Kemudian ia menggeleng pelan untuk kedua kalinya unutk menolak tawaran Solar. "Aku ada urusan yang perlu aku kerjakan setelah ini, mungkin lain kali."

Solar mengangguk mengerti, sehingga Fang menarik kembali tangan kiri yang sebelumnya bersarang di kepala Solar. Keduanya tersenyum seakan hendak menyampaikan salam manis sebelum kembali terpisah.

Fang kembali menyalakan mesin motornya. Solar tidak ingin memaksa, kemudian ia membiarkan Fang pergi dan melambai ketika Fang sudah melaju dengan motornya. Ia menatap motor Fang yang perlahan menghilang dari pandangannya, tangannya kini sudah berada di samping badannya dan berhenti melambai bebas di udara. Kini tangannya justru mengeratkan kepalan, seakan Solar baru saja menyesali sesuatu yang terjadi entah karena dirinya atau bukan.

Enggan berlama-lama di luar, Solar segera melangkah masuk ke dalam rumah. Tanpa di sangka ia akan mendapatkan sambutan kurang mengenakan dari Halilintar. Ia mendapat tatapan tajam. Ia sebentar mengabaikannya dan melepas sepatu serta kaos kaki yang menempel pada kedua kakinya, tidak lupa ia meletakannya ke rak sepatu dengan rapi.

Tangan Halilintar terlipat di depan dada, ia terlihat sangat siap untuk menginterogasi Solar yang saat itu baru saja melepas sepatunya. Namun Solar tidak takut, ia melangkah maju dan mengangkat dagunya seakan mencoba menantang Halilintar. Halilintar yang merasa tertantang mengambil napas panjang sebelum mencoba berbicara pada Solar.

"Jadi hari ini kau pu—"

"Selamat datang, Solar." Gempa menyela dengan sengaja. Ia tersenyum hangat pada Solar dan disambut senyuman tipis dari Solar. Halilintar kesal dengan tingkah Gempa, untung ia masih menyayangi kekasihnya itu.

"Kebetulan sekali kau sudah datang, aku baru saja menyajikan pudding di ruang makan." Solar mendekati Gempa yang mencoba mencairkan suasana yang sebelumnya sangat mencekam.

"Pudding?" Solar tampak tertarik dengan apa yang dibuat Gempa. Karena sepengetahuannya, masakan Gempa adalah masakan paling enak yang pernah ia santap.

Gempa segera menyuruh Solar untuk pergi berganti baju dan menyantap pudding yang ada di ruang makan. Solar tidak membantah, ia segera melesat menuju kamarnya untuk berganti baju. Dan tinggallah Halilintar dengan Gempa, hanya mereka berdua.

Punggung milik Gempa menghadap ke arah Halilintar yang menatap kepergian Solar. Baru saja Halilintar hendak mengeluarkan segara pertanyaan yang mengganggunya, Gempa tiba-tiba datang dan mengacaukannya. Jujur saja itu sangat menyebalkan bagi Halilintar

"Bukankah kau sudah bilang kalau kau tidak akan ikut campur?" Gempa melirik Halilintar dengan lirikan tidak suka.

"Aku hanya ingin menanyakan bebera—" ucapan Halilintar yang belum selesai kembali dipotong oleh orang yang sama.

"Bukankah kau sudah bilang kalau kau tidak akan ikut campur?" sekali lagi ucapan Gempa diulang, tetapi kali ini dengan nada bicara seperti tengah mengancam.

Gempa kembali membawa suasana mencekam, bahkan jauh lebih seram dari sebelumnya. Bahkan Halilintar sampai meneguk liur dengan susah payah. Ia tidak menyangka Gempa akan semarah itu padanya hanya karena dirinya mencoba untuk memberikan beberapa pertanyaan pada Solar.

"Maafkan aku." Halilintar menyerah di depan Gempa.

Gempa berjalan meninggalkan Halilintar dengan rasa takutnya. Memang hanya Gempa saja yang dapat menaklukan Halilintar yang terkenal menyeramkan. Tidak lama setelahnya Halilintar mencoba menyusul Gempa yang berjalan menuju dapur, kali ini ia akan membuat makan siang menggantikan posisi Gempa sementara.

Gempa tentu tidak hanya tinggal diam menunggu Halilintar selesai makan, nantinya Gempa mendapat bagian untuk mencuci baju. Ia bertukar tugas dengan Halilintar atas permintaan Halilintar yang katanya sedang ingin memasak untuk seluruh saudaranya.

Di ruang makan sudah tersedia tujuh gelas berisi pudding beserta vla manis di atasnya. Terlihat mengggiurkan dan menggugah selera makan. Tanpa pikir panjang Solar segera mengambil salah satu dari tujuh gelas yang tersedia, ia memakannya dengan lahap. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Gempa memiliki bakat terpendam dalam hal memasak.

Sang koki yang melihat Solar dari pangkal dapur tersenyum tipis, segera ia menghampiri Solar yang masih menikmati pudding buatannya. Ia duduk di samping Solar sambil menunggu Solar menghabiskan makanannya.

"Bagaimana?" sebuah kata terlontar keluar dari mulut Gempa ketika Solar meletakkan gelas dan sendok yang ia gunakan ke atas meja. Matanya menatap Solar yang terlihat sangat menikmati pudding buatannya.

"Ini enak, aku suka." Solar mengembangkan sebuah senyum. Gempa ikut tersenyum ketika Solar mengaku suka masakannya, sepertinya ia akan kembali membuat pudding itu lain waktu.

"Apa kau ada beberapa masukan untukku? Supaya pudding itu terasa lebih enak." Gempa memangku dagunya dengan tangan kanannya. Manik kuningnya tidak berhenti menatap intens remaja berkacamata gaya di sampingnya.

"Soal rasanya sudah pas, tetapi kurasa akan lebih enak jika teksturnya lebih lembut." Solar menyentuh pipinya sendiri sambil mendongakan kepala, mencoba memikirkan masukan yang pas untuk hasil masakan Gempa.

Gempa mengangguk mendengarkan masukan dari Solar, ia akan mengingatnya sehingga lain waktu ia dapat mengaplikasikan saran dari Solar. Tentu ia akan menampung lima masukan lain dari saudara-saudaranya yang belum kembali ke rumah. Halilintar masih belum mencicipi pudding tersebut karena ia ingin menunggu yang lainnya datang.

Tangan Gempa diregangkan ke atas, manik kuning milik Gempa kini tertutup kelopak mata. Perlahan hembusan napas dari Gempa keluar dengan cepat, bahkan Solar dapat mendengar suara napas Gempa saat itu.

Setelahnya Gempa meletakkan kedua tangannya di atas meja, senyum di bibirnya tampak belum juga pudar. Maniknya kembali muncul dengan memancarkan sorot mata penuh kebahagiaan. Solar hanya terpaku melihat Gempa dengan segala tingkahnya.

"Kalau begitu lain kali aku akan membuat pudding lagi, dan akan terasa jauh lebih enak dari ini." Gempa unjuk gigi. Sedangkan Solar yang ada di sampingnya terkekeh geli, tingkah Gempa terlihat sangat menggemaskan.

"Aku akan sangat menantikannya." Solar membalas.

Mereka terlihat mesra di ruang makan. Selanjutnya mereka berbincang ringan dimulai dari Solar yang bercerita tentang Ice yang ketahuan tidur di kelas oleh guru sejarah yang terkenal galak, disambut dengan pecahnya tawa Gempa.

Sementara di dapur Halilintar memegang erat pisau dapur yang tengah ia gunakan, ia tidak dapat berbohong jikalau kini dirinya tengah cemburu mendengar kemesraan Gempa dan Solar. Sekalipun Halilintar tahu bahwa Solar menyukai Fang, tetapi Halilintar mudah meledak hanya karena api cemburu.

-To Be Continue-

__-Narake-

Our StorylineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang