15. Rencana Baru

2K 151 27
                                    

"Jadi begitu, lalu apa yang selanjutnya terjadi?" si surai ungu baru saja berhenti tertawa usai mendengar cerita dari Solar tentang kejadian ketika makan malam bersama.

"Tentu saja aku bilang jika aku dank au tidak berkencan, lagipula acara ini bukan acaramu." sekilas Fang dapat melihat rona merah pada wajah kesal Solar. Fang tersenyum tipis ketika menyadari perubahan tingkah Solar yang menjadi lebih menggemaskan.

"Jadi pada akhirnya kau gagal mendapatkan ijin dari Halilintar?" ia memangku dagu sambil menatap Solar dari jarak yang lebih dekat.

Solar menghela napas lelah sebelum menjawab pertanyaan dari Fang, jawabannya sudah terlihat jelas. "Iya, aku gagal."

Remaja bermanik mata kuning itu terlihat sangat kecewa dengan kenyataan bahwa hanya Halilintar yang menolak habis-habisan acaranya bersama Fang. Gempa dan yang lainnya memberikan ijin secara cuma-cuma kepada Solar untuk pergi ke pesta ulang tahun Ying bersama dengan Fang.

Fang bergerak untuk menegakan posisi duduknya. Ia menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Gerakan yang Fang buat berhasil memancing perhatian Solar yang ada di depannya.

"Kalau begitu biar aku yang meminta ijin padanya." Fang menunjuk dirinya sendiri dengan ibu jari tangan kanannya dengan bangga. Dengan penuh percaya diri ia mengatakan hal yang ia anggap keren agar Solar dapat jatuh hati padanya.

Solar terkejut, sama seperti yang Fang duga. "A-apa kau yakin?"

Kekehan Fang terdengar menyebalkan di telinga Solar, ditambah dengan Fang yang mengukir seringai kebanggaannya. "Tenang saja, aku yakin dia akan memberikan ijin."

Kepercayaan diri seorang Fang bukannya membuat Solar kagum, melainkan kesal. Ia tidak mengerti kenapa Fang bisa menjadi sangat berani untuk menghadapi Halilintar yang terkenal menyeramkan.

Halilintar adalah salah satu anak yang paling disegani di sekolah, tentu karena tampangnya yang sangat menyeramkan. Meskipun memiliki paras tampan rupawan, tetapi semua itu dikalahkan dengan deathglare miliknya.

Solar tampak sudah menyerah dalam hal yang menyangkut Halilintar, ia menepuk pelan keningnya ketika melihat tingkah Fang yang sangat menyebalkan. "Terserah kau saja. Jika memang tidak mendapatkan ijin darinya, tidak apa-apa."

Perlahan Solar menggerakan tubuhnya untuk kembali duduk menghadap papan tulis. Fang yang melihat gerakan Solar seketika mengubah raut wajahnya, kini ia terlihat pucat. Ia sedikit menyesali perkataannya tentang meminta ijin dari Halilintar, ia tidak tahu apa yang akan Halilintar berikan padanya nanti. Beruntung jika ia hanya diberikan deathglare, jika sedang sial mungkin ia akan dihujani cemoohan pahit dari remaja kilat itu.

Di lorong sekolah, tampak Blaze tengah kesulitan membawa sebuah tumpukan buku di tangannya. Pagi ini ia mendapat sebuah perintah dari salah satu guru untuk memindahkan beberapa buah kamus tebal ke ruang bahasa, karena kamus-kamus tersebut akan digunakan dalam pelajaran selanjutnya.

Beruntung di tengah kesulitannya ia bertemu dengan salah satu saudaranya, Taufan. Kebetulan ia tengah tidak melakukan apa-apa selain berjalan ke arahnya sambil bersiul. Segera Blaze memanggil Taufan dengan suaranya yang khas.

"Tolong bantu aku membawa ini." Blaze memohon dengan mata memelas. Tentu hal itu tidak dapat ditolak oleh Taufan. Bahkan tanpa Blaze perlu memohon pun Taufan pasti akan membantunya.

"Beruntung aku ada di sini." Taufan bergumam di samping Blaze sambil membawa sebagian buku yang sebelumnya dibawa oleh Blaze.

"Iya, iya, terima kasih." tampak jelas bahwa Blaze mengucapkannya dengan kurang tulus, atau bahkan tidak tulus sama sekali.

Taufan terkekeh melihat tingkah Blaze.

Beberapa saat mereka saling diam, sampai akhirnya Taufan mulai bercerita pada Blaze. Ia menceritakan apa yang terjadi padanya dan Thorn kemarin setelah pulang sekolah. Blaze tampak menyimak cermat apa yang Taufan jelasnya, karena sebenarnya ia mendukung hubungan Taufan dengan Thorn.

"Pada akhirnya dia bilang begitu." Taufan mengakhiri ceritanya pada Blaze saat mereka akan menaiki tangga menuju ruang bahasa yang terletak di lantai paling atas.

"Kalau begitu kau harus segera melakukannya dalam waktu dekat, ini adalah waktu yang sangat tepat!" Blaze berseru semangat menanggapi cerita Taufan yang sudah selesai diceritakan. Kakinya berhenti melangkah saat memberikan tanggapan tersebut.

Langkah Taufan yang berada di depan Blaze berhenti usai mendengar tanggapan Blaze. Kepalanya menoleh ke arah Blaze yang ternyata tengah tersenyum penuh arti padanya, tetapi sayangnya Taufan tidak mengerti apa yang Blaze maksud. Ia menelengkan kepalanya.

"Maksudmu?" Taufan memandang Blaze penuh tanda tanya.

Blaze speechless selama beberapa saat ketika melihat Taufan yang tidak mengerti maksud dari ucapannya tadi. Perlahan ia menggelengkan kepala dan lanjut melangkah sampai melewati Taufan.

"Tembak dia." Blaze tidak menghentikan langkahnya saat memperjelas ucapan yang sebelumnya ia ucapkan.

Taufan mematung selama beberapa detik sebelum mengejar Blaze yang sudah jauh berada di depannya. Wajahnya berubah panik setelah mendengar ucapan Blaze, ia tidak menyangka bahwa Blaze akan mengatakan demikian.

"Sabtu nanti aka nada festival, itu akan menjadi momen yang cocok untuk kalian!" Blaze yang tidak mendapatkan balasan apapun dari Taufan kembali bersuara dengan semangat. Manik oranye itu menangkap gerakan anggukan dari Taufan.

"Aku tidak yakin soal itu." akhirnya Taufan berkomentar setelah membisu selama beberapa saat.

Blaze menoleh, melihat Taufan yang terlihat kurang percaya diri. Ia menyenggol Taufan yang sudah mengejar langkahnya, hal tersebut membuat Taufan hampir kehilangan keseimbangan tubuhnya. Kemudian Blaze mengembangkan senyum lebar di bibirnya.

"Tidak apa-apa, aku yakin dia akan menerimamu." Blaze ingin mengacungkan ibu jari miliknya, tetapi kedua tangannya masih sibuk membawa tumpukan kamus tebal.

Taufan menghela napas sambil tersenyum ketika melihat senyum lebar di wajah Blaze. Ia mendapat sedikit dorongan yang sudah lebih dari cukup untuk membangun kepercayaan dirinya. Ia balas tersenyum di depan Blaze dan mengatakan bahwa dirinya akan berjuang untuk melakukannya.

"Oh ya, di antara kau dan Ice siapa yang menyatakan perasaan terlebih dahulu?" Taufan sampai di ruang bahasa dan segera meletakan kamus yang ia bawa di meja. Mata birunya melihat sosok Blaze yang ada di sampingnya.

Gerakan Blaze mendadak terhenti usai mendengar pertanyaan dari Taufan. Perlahan kepalanya menoleh ke arah Taufan, menampakkan seringai penuh arti yang ada di wajahnya. Entah mengapa wajahnya terlihat menyebalkan.

"Tentu saja aku." Blaze berucap penuh rasa bangga. Ibu jari tangan kanannya bergerak menunjuk dirinya sendiri, sementara dagunya bergerak naik.

Taufan diam sekejap, menghilangkan rasa kesalnya pada Blaze yang bersikap sangat menyebalkan. Kemudian ia mengangguk perlahan mengiyakan pengakuan Blaze.

"Kenapa? Aku hebat 'kan?" kini kedua tangannya bergerak terlipat di depan dadanya yang membusung begitu bangga.

"Ya, ya, terserah kau saja." Taufan tampak sudah lelah dengan sikap Blaze yang entah mengapa hampir sama dengan Solar saat dirinya berhasil lulus ujian dengan nilai sempurna.

Blaze tertawa bangga di depan Taufan. "Memangnya kenapa? Kau juga ingin menjadi sepertiku?"

Taufan menghela napas lelah, kemudian ia menggeleng pelan. "Bukan itu."

"Lalu?"

" ... aku belum pernah 'nembak' orang."

-To Be Continue-

-Narake-

Our StorylineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang