16. Saatnya Berjuang

1.9K 147 130
                                    

Suara Blaze memenuhi seisi ruang bahasa tempat ia berpijak. Beruntung ketika itu hanya ada dirinya dan Taufan, sehingga ia tidak akan kena omel dari orang lain yang terganggu karena suara tawanya.

Air matanya hampir mengalir ke luar dari matanya karena ia tertawa terbahak-bahak. Sementara Taufan memandangnya dengan tatapan kesal.

"Cukup." Taufan hampir kehabisan kesabaran saat melihat Blaze yang justru tertawa lebih keras setelah mendengar ucapannya.

"Oi, kau tak paham bahasa ya?" sebuah kamus diambil oleh Taufan dengan tangan kanannya dan mengambil ancang-ancang untuk melempar kamus tebal itu tepat ke wajah Blaze yang tengah tertawa keras.

"Baiklah, baiklah, aku berhenti." perlahan suara tawa itu padam. Blaze tidak mau wajahnya dihancurkan oleh hantaman kamus tebal yang dilempar saudaranya sendiri.

Tangan kanan Taufan yang masih memegang kamus akhirnya bergerak untuk meletakan kembali kamus tersebut. Ia mengurungkan niatnya untuk menghantamkan kamus besar itu ke wajah menyebalkan Blaze.

Blaze menarik napas panjang setelah Taufan meletakan kamus tebal itu. "Aku ... aku benar-benar tidak menyangka bahwa kau belum pernah melakukannya."

"Memangnya aku harus me—"

"Oh ya, aku lupa kau sendiri tidak populer sepertiku. AHAHAHAHA!" tawa Blaze kembali pecah, bahkan suaranya lebih keras dari sebelumnya.

Brak!

Sebuah kamus benar-benar dilemparkan oleh Taufan tepat mengenai wajah Blaze sehingga Blaze berhenti tertawa dengan terpaksa. Ia sempat kehilangan keseimbangannya, tetapi dengan segera ia mengembalikan keseimbanyan tubuhnya sehingga ia tidak terjatuh. Beruntung hanya kamus tebal itu yang terjatuh, tidak disertai tubuh Blaze.

"Aku menyesal menceritakannya padamu." kaki Taufan melangkah pergi menuju pintu, hendak meninggalkan Blaze bersama kamus-kamus tebal itu di ruang bahasa.

"Tunggu, tunggu!" Blaze mendekati Taufan sambil mengusap-usap keningnya yang masih terasa nyeri.

Taufan berhenti dan menoleh ke arah Blaze yang masih memijat pelan keningnya. Ia yakin bahwa lemparannya belum cukup untuk mengembalikan kewarasan Blaze, itu pun jika Blaze memang memiliki kewarasan.

"Aku belum selesai bicara!" Blaze berhenti melangkah tepat di depan Taufan. Ia melihat saudaranya tengah menunggu dirinya menjelaskan apa yang hendak ia terangkan.

"Aku akan membantumu, tenang saja." tangan kiri Blaze menepuk bahu kanan Taufan dengan cukup kuat, tetapi ia sama sekali tidak bermaksud membalas dendam pada saudaranya. Ia menampilkan senyum terbaiknya yang justru terlihat menyebalkan.

"Kuharap kali ini kau memiliki ide yang normal." Ia menghela napas melihat kelakuan Blaze.

"Tidak perlu khawatir, karena nanti kau akan ikut dalam program LMCBB!" tangan kiri Blaze bergerak mengipas di udara, wajahnya kini memperlihatkan kepercayaan diri seorang Blaze yang tidak dapat tertandingi.

"LCMMB? Apa itu?" kening Taufan mengerut setelah mendengar ucapan Blaze yang hampir tidak bisa dipercaya olehnya.

"LMCBB! Latihan Menyatakan Cinta Bersama Blaze!" kini tangan kiri Blaze berada di pingganggnya sedangkan tangan kanannya beberapa kali menepuk dadanya yang sengaja ia busungkan. Terlihat sangat menyebalkan.

"I'm out. Bye." Taufan melangkah pergi.

"Hey, hey, tunggu! Aku benar-benar tulus ingin menolongmu!" Blaze mengejar Taufan.

Selama pelajaran sekolah, Fang tidak tenang karena perkataannya tadi pagi. Ia tengah memikirkan berbagai macam cara untuk menenangkan dirinya, apalagi nanti ia akan bertemu dengan Halilintar. Tidak mungkin ia tiba-tiba membatalkan niatnya di depan Solar.

Bahkan sampai bel pulang berbunyi pun Fang masih belum menemukan cara yang tepat untuk meminta ijin pada Halilintar. Otaknya bekerja lebih untuk menghadapi masalah yang akan segera datang padanya.

"Maaf ya, aku tidak bisa menemanimu." Solar menatap Fang dengan tatapan penuh penyesalan.

Solar tidak dapat menemani Fang untuk menghadap Halilintar dikarenakan dirinya harus pergi ke ruang guru dan berbicara dengan guru pembimbingnya mengenai olimpiade sains yang akan ia sertai enam hari lagi. Belum lagi nanti ia harus melakukan beberapa persiapan bersama siswa lain yang juga akan maju ke olimpiade sains.

Fang mengangguk mengerti sambil tersenyum senatural mungkin. "Tidak apa-apa, aku bisa melakukannya sendiri."

"Jika ada apa-apa segera hubungi aku." Solar berbalik setelah mendapat anggukan dari Fang. Perlahan dirinya menghilang dari pandangan Fang.

Fang mengambil napas panjang dan menghembuskannya, ia mencoba membuat semua rasa gelisah yang mengendap dalam hatinya. Rasa takut yang sebelumnya ia rasakan kini ia ubah menjadi rasa percaya diri yang cukup tinggi. Kemudian ia melangkah pergi menemui Halilintar ketika ia merasa bahwa jiwa dan raganya sudah siap menghadap Halilintar.

Langkah kakinya berhenti di kelas tempat Halilintar seharusnya berada. Matanya menelusuri setiap sudut kelas, tetapi tidak berhasil menangkap sosok si kilat merah itu, karena penasaran akhirnya ia masuk ke dalam kelas itu. Namun hasilnya tetap nihil.

Ia bernapas lega, mungkin hari ini ia memang tidak harus bertemu dengan Halilintar. Setidaknya ia diberikan waktu lebih untuk mempersiapkan diri bertemu si Raja Kilat.

"Kau menghalangi jalan." suara yang berat itu membuat tubuh Fang terperanjat kaget. Ia segera bergerak ke samping kanan agar orang yang ada di belakangnya tidak terhalangi.

Halilintar lewat melewati Fang dengan aura yang menyeramkan, sehingga Fang harus menelan liurnya dengan susah payah. Ia mencoba memberanikan diri untuk berbicara dengan Halilintar yang kini sudah berada di depannya. Dengan tangan yang masih gemetar, ia akhirnya menyebutkan maksud dari kedatangannya ke kelas Halilintar.

"Halilintar, bisa kita bicara sebentar?"

Halilintar yang baru saja mengambil kotak pensil miliknya yang tertinggal di laci meja langsung menoleh ke arah Fang. Ia sama sekali tidak tampak tertarik dengan Fang yang mengajaknya untuk bicara.

Setelah beberapa detik terdiam, kemudian ia kembali bergerak memasukan kotak pensilnya k etas merah kesayangannya. Setelahnya ia berjalan menuju Fang.

"Tunggu sampai kelas ini sepi, lalu aku akan bicara." Posisi tubuh Fang kini tegak dan beberapa ototnya menegang akibat tatapan menusuk dari Halilintar. Fang mencoba tampil senatural mungkin di depan Halilintar agar tidak memberi kesan buruk, karena kini ia hendak meminta ijin pada Halilintar untuk membawa saudaranya pergi.

"Aku tidak punya banyak waktu untuk itu." Halilintar berlalu begitu saja tanpa memedulikan Fang yang mati-matian menahan takut ketika mendapat tatapan tajam dari Halilintar.

Penolakan Halilintar tidak semata-mata mematahkan semangat Fang. Ia berbalik menatap punggung Halilintar yang mulai menjauh, ia akan berusaha membuat Halilintar mendengarkan dan memberikannya ijin.

"Tunggu, aku ingin membahas tentang Solar." Kaki kini Fang melangkah maju. Namun ketika kaki kanannya hendak melangkah, Halilintar berhenti melangkah dan terdiam di sana selama beberapa detik.

Meskipun cukup jauh, tetapi Fang dapat mendengar helaan napas Halilintar ketika itu. Mau tidak mau, Fang harus mempersiapkan diri untuk menghadapi apapun yang Halilintar perbuat nantinya. Diberikan ijin atau tidak, ia lebih berharap agar dirinya dapat pulang ke rumah dengan nyawa yang utuh.

Tubuh Halilintar berbalik dan kini menatap Fang dengan sangat tajam dan menyeramkan. "Jawabannya tetap ti—"

"Tentu saja boleh!"

-To Be Continue-

-Narake-

Our StorylineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang