25. Permainan dan Kesempatan

2.2K 142 21
                                    

"Kita hanya perlu bergantian menggigitnya, lalu yang dapat bagian lebih banyak pemenangnya!"

Taufan mengangguk mendengar penjelasan Thorn tentang game yang akan mereka mainkan nanti. Bukan karena Taufan tidak mengetahui bagaimana cara memainkannya, tetapi ia hanya ingin mengetahui sejauh mana Thorn mengenal permainan ini.

"Oh, Ice bilang kalau pemenangnya boleh meminta sesuatu dari yang kalah!" Thorn mengacungkan jari telunjuknya ketika mengingat sebuah hal lainnya mengenai permainan tersebut.

Hal tersebut tidak membuat Taufan takut, ia bahkan tidak bisa membayangkan apa hal menyeramkan yang bisa Thorn suruh padanya. Satu-satunya yang ada di kepala Taufan bersangkutan dengan itu adalah Thorn memintanya untuk berkebun bersama atau membuatkan kue bersama.

Taufan mengangguk sekali lagi, mengisyaratkan bawa dirinya sudah sepenuhnya paham mengenai permainan ini. Segera Thorn menggigit ujung Pocky dan mendekatkan ujung lainnya pada Taufan yang tampak sudah siap bermain.

Baiklah, kita mulai permainannya.

Taufan menggigit ujung lainnya, kemudian Thorn memajukan wajahnya dan menggigit Pocky di ujung miliknya. Jarak mereka semakin menipis, tetapi Taufan harus bertahan setidaknya sampai satu babak ini selesai.

Giliran Taufan maju, ia mengambil langkah dengan ragu. Ia hanya menggigit sedikit, membuat jarak di antara mereka hampir tidak berkurang. Di sisi lain Thorn tampak bersemangat untuk memenangkan permainan ini. Taufan yang melihatnya enggan kalah begitu saja, akhirnya ia berani untuk melangkah maju lebih panjang.

Thorn masih belum putus semangat, ia kembali maju dengan membunuh jarak di antara dirinya dan Taufan lebih panjang dari sebelumnya. Jarang mereka kurang lebih tersisa 5 senti lagi, hal itu membuat Taufan ragu untuk maju.

Brak!

"Tho—"

Tak!

Pocky tersebut patah karena Thorn dan Taufan kaget akan kehadiran sosok lain di kamar tersebut. Blaze masuk ke kamar Thorn dengan kasar bahkan sampai membanting pintu, beruntung pintu tersebut tidak rusak.

Thorn dan Taufan memandang Blaze yang mematung di ambang pintu. "Blaze, kau membuatku kalah!" seru Thorn dengan kesal.

Taufan melihat sisa Pocky yang ada di bibirnya, itu lebih banyak dari sisa yang ada di mulut Thorn. Dengan begini Taufan memenangkan permainan tersebut, sekali pun itu hanya kebetulan.

"Ma-maaf, aku tidak tahu kalau kalian sedang bermain game itu." Blaze segera meminta maaf setelah melihat Thorn yang melipat kedua tangannya di depan dada dan memandang Blaze sambil menggembungkan pipi. Di sisi lain Blaze juga dapat melihat Taufan yang mulai bersemu.

Thorn menghela napas, ia tidak dapat berlama-lama marah pada seseorang. Terlebih lagi Blaze merupakan orang terdekatnya. "Blaze mau main?" Thorn berniat memberikan sebatang Pocky pada Blaze.

Segera Blaze memandang ke arah Taufan yang ada di ruangan yang sama dengannya. Terlihat bahwa Taufan tengah mendelik tidak suka pada Blaze ketika Thorn menawarinya bermain Pocky Game. "Ti-tidak, aku sedang tidak ingin memainkannya." Blaze menggeleng cepat untuk menolak ajakan Thorn.

Thorn mengernyit, tidak menyangka kalau Blaze akan menolak ajakannya. "Kau sudah terlalu sering memainkannya bersama Ice, ya?" tanyanya.

"Tu-tunggu, kenapa kau jadi menghubungkannya dengan diriku dan Ice?" wajah Blaze perlahan berubah merona. Terkadang ucapan Thorn yang sedikit frontal tidak dapat diprediksi dan justru membuat orang lain kebingungan menanggapinya.

Taufan terkekeh pelan melihat tingkah Blaze yang ternyata bisa berubah menjadi menggemaskan. "Sudah jelas jika Blaze memang sering melakukannya dengan Ice, mungkin hampir setiap hari."

"Wah, benarkah?" Thorn justru terlihat kagum mendengarnya.

"Ho-hoi, tidak begitu!" Blaze mennyangkal.

"Kalau begitu kita juga harus sering melakukannya, Taufan!" Thorn menatap Taufan dengan mata berbinar-binar.

"A-apa?"

.

.

.

Blaze membuka pintu kamar Taufan, kali ini tidak sekasar ketika ia membuka pintu kamar Thorn. Ia melihat Taufan yang baru saja selesai mandi dan tengah mengenakan kaos biru polos kesayangannya. "Jadi ... bagaimana kau bisa melakukan hal itu dengannya?"

Taufan menatap Blaze, dan mendapati saudaranya tengah tersenyum penuh arti sambil menatapnya. "Apa-apaan senyummu itu hah?" tanya Taufan sambil kembali mengeringkan rambutnya dengan sehelai handuk.

"Bukankah ekspresiku ini wajar? Kalian baru saja memainkan permainan 'itu' di kamar dan hanya berdua, bagaimana bisa aku tidak penasaran bagaimana awal dari kejadian itu." mulut Blaze tidak lelah mengoceh panjang lebar, tetapi telinga Taufan rasanya panas mendengar hal tersebut.

"Dia yang memintanya, jadi aku tidak bisa menolak." Taufan mengaku.

Blaze mengangguk mengerti meskipun Taufan hanya menjelaskannya dengan sebuah kalimat singkat. "Seharusnya kau memanfaatkan keadaan. Aku yakin sebelumnya kau ragu untuk melakukannya, tapi karena itu demi dia kau mau melakukannya."

"Tentu saja aku ragu. Bagaimana jika saat di tengah permainan bibir kami bersentuhan? Bisa-bisa aku lepas kendali nanti." Taufan menghentikan kegiatannya mengeringkan surainya dan menggantungkan handuk miliknya di pundak.

"Justru itu kau harus memanfaatkan keadaan, Taufan. Jika Thorn marah seharusnya kau bisa bilang 'Ini salahmu karena kau yang mengajakku, Thorn.' begitu!" Blaze terlihat cukup kecewa menyadari saudaranya yang satu ini terlihat sangat ragu untuk mengambil langkah besar.

"Mana mungkin aku melakukannya? Bahkan aku dan dia belum berpacaran." Taufan membalas dengan nada bicara yang sedikit meninggi.

"Belum berarti akan," balas Blaze sambil kembali tersenyum penuh arti.

Taufan merasa ingin muntah melihat wajah Blaze yang menyebalkan, atau mungkin ia bisa menampol wajah Blaze terlebih dahulu sebelum muntah. "Jangan-jangan kau dan Ice sudah melakukannya sebelum berpacaran."

Blaze tidak menjawab selama beberapa saat, ia terlihat mematung dengan wajah yang perlahan merona. Ketika Taufan melihat reaksi saudaranya, ia tertawa lepas.

"Ja-jangan tertawa!" Blaze mendekati Taufan yang tengah tertawa sambil memegangi perutnya yang mulai terasa sakit karena terlalu banyak tertawa.

Tangan Blaze bergerak mencubit kedua pipi Taufan dengan cukup kuat, sehingga Taufan meringis kesakitan. Blaze melepaskan cubitannya ketika Taufan sudah berhenti tertawa.

Taufan mengusap kedua pipinya yang terasa sangat sakit karena serangan Blaze, tetapi ia tidak dapat menyangkal bahwa menggoda Blaze cukup menyenangkan. Apalagi jika sampai wajah Blaze merona.

"I-itu karena Ice yang terlalu agresif." Blaze menjelaskannya tanpa diminta oleh Taufan. Sekali lagi Taufan ingin tertawa, tetapi kali ini ia mencoba untuk menahannya karena ia tidak mau diberikan cubitan dari Blaze.

"Oh ya, kalau tidak salah Thorn tahu permainan ini dari Ice." Taufan mengangguk mendengar ucapan Blaze. "Apa itu artinya juga ada taruhan dalam permainan ini?" lanjut Blaze.

Taufan membuang muka. "Ada, aku bisa meminta sesuatu darinya."

Blaze terlihat penasaran dan segera menanyakan hal apa yang diminta Taufan dari Thorn. Kali ini ia berharap bahwa saudaranya ini dapat memanfaatkan kesempatan.

"Aku belum memintanya tadi, aku berniat memintanya saat festival nanti." ucapan Taufan membuat Blaze sedikit kecewa, ia tidak menyangka Taufan tidak langsung meminta saat itu juga.

"Memangnya apa yang ingin kau minta?" tanya Blaze.

Taufan tersenyum lembut, tangannya bergerak menggaruk tengkuknya sendiri. "Aku belum tahu, hehe."

-To Be Continue-

-Narake-

Our StorylineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang