22. Aktivitas Pagi

1.8K 145 8
                                    

"Pagi, Gem." Suara Halilintar menyapa indera pendengaran Gempa.

Yang disapa langsung menoleh ke sumber suara. Langkah kakinya yang baru saja beberapa langkah dari kamarnya langsung terhenti di tempat. Sebuah senyum mengembang di wajah Gempa, tetapi ada hal lain di wajah Gempa yang membuat Halilintar mengerutkan dahinya.

"Ada apa denganmu semalam?" Halilintar mendekati Gempa untuk memperhatikan wajah Gempa dari dekat. Tangan kanan Halilintar bergerak untuk menarik dagu Gempa, membawanya lebih dekat dengan wajahnya.

"A-aku tidak apa-apa." Gempa berbohong dan Halilintar tahu. Tangan kiri Halilintar bergerak mengusap bagian bawah dari mata Gempa, membuat Gempa memejamkan matanya erat.

"Kau menangis semalam?" suara dan raut wajah Halilintar sangat serius menanggapi apa yang terjadi pada wajah kekasihnya. Ia tidak suka jika ada seseorang yang membuat Gempa menangis.

Merasa tidak dapat mengelak lagi, akhirnya Gempa mengangguk pelan. Hal itu membuat tangan kiri Halilintar tidak lagi menyentuh wajah Gempa, sehingga Gempa dapat membuka lagi kelopak matanya. "Iya, semalam aku menangis." Gempa mengaku.

"Siapa yang membuatmu menangis? Katakan padaku." Halilintar membunuh jarak antara wajahnya dan wajah Gempa perlahan, sehingga Gempa dapat merasakan hembusan napas Halilintar pada wajahnya.

Tangan Gempa segera mendorong Halilintar sehingga membuat jarak mereka melebar. Setelah mendapat tempat yang cukup nyaman, barulah Gempa berucap. "A-aku hanya merindukan Ayah dan Ibu." Sekali lagi Gempa berbohong, tetapi kali ini Halilintar mempercayainya.

Di depan Gempa, terlihat Halilintar sempat mematung beberapa saat setelah mendengar jawaban Gempa. Kemudian Halilintar kembali mendekat, tetapi Gempa tidak melihat gerak-gerik mencurigakan dari Halilintar.

"Tidak apa-apa, setidaknya kita semua masih bersama." Halilintar menarik Gempa ke dalam dekapannya dengan lembut. Ia mencoba memberikan kenyamanan pada Gempa, seolah mencoba menghibur kekasihnya yang tengah bersedih.

Dalam dekapan Halilintar, kepala Gempa mengangguk pelan. Di sana Gempa dapat mendengar dengan jelas detak jantung Halilintar yang begitu menenangkan, ia merasa sangat nyaman.

"Aku akan temani kau memasak lagi setelah membangunkan yang lain." Usapan pada belakang kepala Gempa yang diberikan oleh Halilintar membuat Gempa semakin tidak ingin lepas dari sana. Namun kewajibannya untuk mempersiapkan diri dan keluarganya tidak dapat dinomor duakan.

Lima belas menit setelahnya, semua anggota keluarga sudah hampir siap untuk sarapan. Di lorong kamar Blaze dan Taufan bertemu, mereka membicarakan soal apa yan kemarin Blaze minta pada Taufan.

"Aku sudah menulisnya semampuku." Secarik surat Taufan berikan pada Blaze. Tentu isi surat tersebut tidak ditunjukkan pada Blaze, melainkan pada Thorn.

Blaze mengehela napas dan menggeleng. Tangan kanannya mendorong tangan Taufan yang mengulurkan surat padanya seraya menolak pemberiak Taufan. Mata oranye miliknya menatap Taufan penuh arti sebelum ia berucap.

"Kurasa aku tidak perlu membacanya, bukankah lebih baik jika dia menjadi orang pertama yang membaca surat itu?" Blaze menyunggingkan senyum pada Taufan yang masih terkejut karena perbuatan Blaze.

Kemudian sebuah senyum mengembang di wajah Taufan. Dia mengangguk. Tangannya bergerak menyimpan surat tersebut di tas kebangaannya, menyembunyikannya di tempat dimana tidak ada orang yang dapat menemukannya.

"Baiklah, aku akan memberikannya saat festival nanti." Taufan berucap usai menutup kembali ritsleting tasnya.

"Taufan, Blaze, aku butuh bantuan!" suara Thorn mengagetkan kedua saudaranya yang baru saja membicarakan dirinya. Dengan rambut yang masih berantakan ia berlari ke arah Taufan dan Blaze yang masih terkejut akan kehadirannya yang tiba-tiba.

"T-Thorn? Ada apa?" ketika Blaze mengucapkan pertanyaan pada Thorn, Taufan membalikkan badannya dan menghadap Thorn yan muncul dari belakang.

"Boleh aku pinjam sisir? Kemarin aku tidak sengaja mematahkan sisir milikku."

Blaze dan Taufan saling bertatapan, kemudian kembali menatap Thorn yang masih dengan rambutnya yang berantakan. Melihat sebuah kesempatan, Blaze langsung mengambil alih keadaan.

"Taufan, kau tolong Thorn ya? Aku masih ada urusan dengan Ice. Bye!" Blaze segera meninggalkan Taufan dan Thorn di sana, sehingga mau tidak mau Taufan harus menolong Thorn dengan rambutnya yang berantakan.

"Taufan, boleh 'kan aku meminjam sisirmu?" Thorn berjalan mendekati Taufan dengan wajah memohon.

Bahkan tanpa memohon pun Taufan pasti melakukannya. "Tentu, mari aku bantu juga kau menyisir rambutmu." Jawaban Taufan ditambah seulas senyum di bibirnya membuat Thorn ikut tersenyum senang karena akhirnya mendapat bantuan dari saudaranya.

.

.

.

"Oh, dia ada urusan ya?" Fang melangkah menuju kelasnya sambil melihat layar ponselnya yang tengah memperlihatkan pesan dari Solar. Pagi ini Solar harus menghadap guru untuk membahas beberapa hal mengenai olimpiade yang semakin dekat.

Di kelas Fang melihat Ice yang kebetulan tengah tidak bersama Blaze dan fokus pada buku yang ada di depannya. Fang dapat menebak bahwa buku itu adalah buku Fisika, karena pagi ini mereka akan menghadapi ulangan harian Fisika. Berhubung Solar tidak ada dan Fang sendiri belum menguasai materi, ia berniat meminta Ice mengajarinya.

Ice menyambut kedatangan Fang dengan baik sekalipun kesan dingin darinya tidak hilang. Perlahan Fang mulai mengerti materi yang akan diujikan karena penjelasan dari Ice yang cukup jelas dan ringkas. Tangannya juga tidak berhenti bergerak untuk menulis beberapa rumus yang harus ia hapal. Beberapa soal juga sempat mereka kerjakan bersama sebagai latihan, dan kegiatan itu berjalan lancar karena bantuan Ice.

Fang merasa cukup beruntung mendapat teman sekelas seperti Ice, walaupun kesehariannya tidak pernah dilewati tanpa tertidur di kelas atau diam-diam makan di kelas. Terkadang memang membuat Fang risih, tetapi kebolehan Ice dalam beberapa mata pelajaran termasuk Fisika tidak boleh diremehkan.

"Kalian sedang belajar Fisika?" kedatangan Solar yang tiba-tiba tidak membuat Fang atau Ice terkejut, mereka masih tampak fokus mengerjakan sebuah soal.

"Iya." Sekilas Fang melirik Solar dan tersenyum, kemudian kembali fokus pada soal di depannya.

"Ah, kurasa yang ini menggunakan rumus ini." Ice menunjuk ke arah kertas yang ada di hadapannya. Fang mengangguk mengerti dan segera menghitung dengan rumus yang dimaksud Ice.

Solar merasa dadanya panas, baru kali ini Fang mengacuhkannya. Mungkin ia akan memaklumi jika Fang memang sedang belajar seorang diri, tetapi kali ini Fang terlihat lebih memilih untuk berinteraksi bersama Ice. Sepertinya Solar mulai merasa cemburu.

Sementara di kelas 3-IPA-3 tempat Blaze berada, Gopal menyambut kedatangan sahabatnya. Tangannya yang besar merangkul Blaze dengan sedikit kasar, membuat jarak di antara mereka menipis.

"Hey, Blaze, hari Minggu nanti ada pertandingan sepak bola. Kau mau ikut 'kan?" Gopal langsung berbicara to the point setelah menangkap sahabatnya dengan rangkulannya.

"Sepak bola? Melawan siapa?"

"Melawan sekolah tetangga, katanya ini pertandingan persahabatan." Gopal memberikan Informasi yang Blaze inginkan.

Blaze mengangguk semangat, ia tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan untuk unjuk gigi di lapangan sepak bola. "Aku akan ikut, nanti aku akan mengajak Taufan juga!" Blaze berseru semangat.

"Oke!" Gopal dan Blaze membenturkan telapak tangan mereka bersama sambil tersenyum lebar.

-To Be Continue-

-Narake-

Our StorylineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang