20. Surat yang Tertunda

1.6K 156 17
                                    

Sudah satu jam setelah makan malam selesai, dan kini saatnya Gempa memeriksa satu per satu kamar saudaranya. Ia harus memastikan semua saudaranya sudah tidur saat jam tidur, yaitu jam 9 malam. Mungkin Gempa akan memberikan dispensasi jika mereka memiliki pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan, biasanya Solar yang sering melakukan hal tersebut untuk belajar sains.

Kamar Ice yang menjadi kamar pertama yang harus Gempa kunjungi, mengingat penyakit Ice yang tidak kunjung sembuh. Ia harus memastikan Ice tidak lupa mengunci pintu sehingga dirinya tidak akan keluar dari kamar ketika secara tidak sadar ia tidur sambil berjalan.

Selanjutnya ia mengunjungi kamar Solar, bocah sains yang sangat tekun dalam memperlajari hal-hal berbau sains. Terlebih beberapa hari lagi Solar akan kembali maju untuk ke arena olimpiade sains untuk kesekian kalinya. Gempa tidak ingin saudaranya yang satu ini kekurangan waktu tidur karena terlalu lama menghabiskan waktu membaca buku sains. Sesuatu yang berlebihan tidak akan berakhir baik.

Kemudian ia mengunjungi kamar Taufan yang lampunya belum kunjung dimatikan. Padahal biasanya Taufan tidur lebih awal, kecuali ia memang harus belajar untuk ujian atau harus mengerjakan tugas untuk besok.

Gempa mengetuk pintu kamar Taufan empat kali, tetapi sebelum Taufan bersuara ia sudah memutar kenop pintu tersebut dan membukanya. Ia mendapati Taufan yang tengah fokus menulis sesuatu di selembar kertas, bahkan karena terlalu fokus Taufan tidak menyadari kehadiran Gempa di kamarnya.

Perlahan Gempa menutup kembali pintu yang sebelumnya ia buka tanpa menimbulkan suara yang dapat memecah fokus saudaranya itu. Kakinya perlahan berjalan mendekati Taufan yang akhirnya menyadari kehadirannya.

"Sedang mengerjakan tugas?" seulas senyum di bibir Gempa membuat Taufan kikuk. Dengan segera ia membalikkan kertas yang ada di atas mejanya, seakan tidak ingin Gempa membaca isi dari kertas tersebut.

Gempa menyadari apa yang Taufan lakukan, ia juga sudah tahu apa isi dari kertas tersebut. Tentu ia tahu hal itu bukan dari dirinya sendiri, melainkan dari salah satu saudaranya yang ternyata menyebarkan latihan Taufan bersama Blaze dan Ice. Gempa sendiri tidak merasa itu adalah hal buruk, ia justru mendukung apa yang Taufan ingin lakukan.

"Tidak apa-apa, Ice sudah memberi tahu semuanya." Kalimat yang saat itu diucapkan Gempa membuat Taufan tersentak kaget. Ia merasa malu saat rahasianya ternyata sudah diketahui saudaranya yang lain.

"Te-ternyata sudah terbongkar ya." Tangan Taufan bergerak meletakan pulpen yang sebelumnya ada di tangan kanannya, kemudian ia menggunakan tangannya untuk menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Perlahan Taufan terkekeh malu.

"Aku tidak memintanya, Ice tiba-tiba memberi tahukan soal itu padaku." Senyuman Gempa berhasil membuat Taufan merasa lebih nyaman sekali pun rahasianya sudah diketahui orang lain. Tangan kiri Gempa menepuk pelan pundak Taufan dan mengusapnya pelan seraya mencoba memberi kenyamanan untuk Gempa.

Taufan mengangguk, ia paham bahwa Gempa bukan tipe orang yang suka mencampuri urusan orang lain. "Boleh aku minta sesuatu padamu?" Taufan menyadarkan punggungnya di sandaran kursi setelah tangan Gempa sudah tidak berada di bahunya.

Senyum Gempa luntur, tergantikan oleh raut wajah kebingungan. "Hm?" kepala Gempa meneleng, seakan meminta keterangan lebih lanjut dari permintaan Taufan.

Pandangan Taufan beralih ke kedua tangannya yang kini ada di antara kedua pahanya yang terbalut celana pendek berwarna biru. Perlahan seulas senyum lemah terukir di wajah Taufan. "Aku belum pernah menulis surat, bisa kau membantuku?"

Gempa terkejut mendengar permintaan saudaranya. "Aku sangat ingin membantumu, tapi aku juga belum memiliki pengalaman menulis surat seperti itu." Dalam dirinya Gempa kecewa karena dirinya tidak dapat menolong saudaranya. Namun setidaknya ia mau memberikan dukungan sebanyak yang Taufan perlukan.

Kepala Taufan langsung menoleh ke arah Gempa yang tersenyum malu mengakui dirinya juga belum pernah menulis surat cinta. Tawa Taufan terdengar setelah menyadari bahwa ia sudah bertanya pada orang yang salah. Mungkin seharusnya ia menanyakan soal ini pada Blaze atau Solar.

"Lalu bagaimana caramu dan Hali jadian?" entah bagaimana pertanyaan tersebut terlontar begitu saja dari mulut Taufan. Ia tidak sempat berpikir dua kali saat pertanyaan konyol itu mengisi kepalanya.

Kali ini giliran Gempa yang tertawa ringan mendengar pertanyaan Taufan. Memori lama kembali terputar di kepala Gempa saat pertama kali Halilintar menyatakan perasaannya dan mereka menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Ia sedikit malu untuk menceritakannya pada Taufan sehingga wajahnya sedikit merona merah.

"Itu sudah cukup lama." Jelas Gempa setelah puas tertawa. Namun mata Gempa menangkap penampakan raut wajah Taufan yang perlahan berubah.

Si pemilik manik safir itu baru saja menyadari apa yang ia pertanyakan pada saudaranya, hal yang membuatnya teringat akan lukanya. Semakin Taufan memikirkannya, semakin terasa sakit pula dadanya. Gerak-gerik Taufan yang tidak normal ditangkap Gempa yang ada di dekatnya.

Namun Gempa tersenyum hangat melihat Taufan. "Aku tidak ingin menceritakannya sekarang." Tangan kanan Gempa mendarat di meja milik Taufan dan lututnya tertekuk dan badannya sedikit bungkuk sehingga kini ia hampir sejajar dengan Taufan yang duduk di atas kursi.

Mata safir milik Taufan bertemu dengan manik Gempa yang sewarna madu. Di sana Gempa melihat penderitaan Taufan yang tergambar jelas, raut wajahnya seakan tidak lagi berwarna.

"Tapi aku akan membantumu menulis suratnya, bagaimana?" senyuman di wajah Gempa melebar saat tengah menawarkan bantuan pada Taufan. Ia ingin memberikan rasa nyaman pada Taufan yang tengah mencoba menyembunyikan rasa sakitnya.

Senyuman di bibir Taufan ikut mengembang saat Gempa memberinya senyuman sehangat mentari, yang mengingatkannya akan orang tua perempuan yang sangat ia sayangi. Sebuah helaan napas dari Taufan terdengar oleh Gempa yang masih menatap wajah Taufan.

Perlahan kepala Taufan menggeleng. "Tidak perlu, aku seharusnya melakukan ini sendiri." Senyuman lebarnya memperlihatkan deretan gigi putih milik Taufan.

Gempa menegakkan badannya dan meluruskan kakinya. "Baiklah jika itu maumu." Gempa menghela napas singkat.

"Aku sangat menghargai dukunganmu padaku, Gem." Taufan berucap tulus dari lubuk hatinya. Dukungan dari beberapa saudaranya membuat Taufan tidak lagi ragu untuk melangkah maju demi mendapatkan apa yang ia inginkan. Langkahnya tidak lagi gemetar ketakutan menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya, karena ia kini dapat berdiri tegap untuk menerima setiap kemungkinan yang akan terjadi.

Gempa yang masih melihat senyum Taufan merasa senang, tetapi juga merasa sakit yang menusuk di dalam dadanya begitu dalam. Perasaan itu muncul ketika Taufan yang dengan terang-terangan tengah berjuang mendapatkan seseorang yang ia sayangi, tidak seperti dirinya. Untuk kali ini ia tidak dapat menyembunyikan lagi perasaannya pada Taufan.

Bibir Gempa bergetar saat sebuah senyuman lemah hendak terukir. Perlahan bibirnya terbuka, dan mengucapkan beberapa kata yang membuat raut wajah Taufan kembali berubah. "Aku ... ingin minta maaf padamu. Maaf, aku baru menyadari perasaanmu pada ... Hali."

-To Be Continue-

-Narake-

Our StorylineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang