15. If

442 98 26
                                    

Hari tengah hujan, dan kebetulan Altair sedang berada diluar dan malas untuk cepat-cepat kembali ke rumah. Apalagi saat ini rumahnya tengah kosong melompong alias tidak berpenghuni.

Paling banter, kegiatan yang dilakukan Altair adalah memasak mie rebus atau tidur dengan selimut tebal hingga alarmnya membangunkan.

"Pesan apa, Kak?" Altair melihat menu di depannya, menimang-nimang sebentar hingga pilihannya jatuh kepada Americano.

"Ada lagi, Kak?" Altair mengangguk, menunjuk sepotong kue tiramisu. Entah mengapa tapi rasanya Altair ingin sesuatu yang manis untuk kopinya.

"Ditunggu ya."

Dan disinilah Altair saat ini, duduk di sebelah jendela besar yang menghadapkannya langsung pada jalanan dan bangunan besar. Tampak tempias air hujan mengenai kaca jendela itu. Membuatnya menjadi keburaman.

Tak lama setelah pesanannya datang, lonceng pintu kafe berbunyi, menandakan terdapat seorang pengunjung yang datang.

Kafe yang di tempati Altair saat ini tidak terlalu ramai, tapi juga tidak terlalu sepi. Cukup tenang untuk seorang Altair. Sebab semua pengunjung sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang melamun, ada yang mengobrol, ada yang memainkan ponselnya dan ada pula yang mengerjakan tugasnya.

Altair mengeluarkan ponselnya, mengabari Mamanya jika sekarang ia tengah berada di luar. Lelaki itu juga membuka sosial media miliknya, melihat apakah ada yang penting atau tidak. Hanya sekedar membuang waktu.

Helaan napas terhembus dari sela bibirnya, meletakkan ponselnya di atas meja sembari menatap kosong pada meja yang berada di depannya. Tenang saja, di meja itu awalnya tidak ada siapa-siapa dan Altair hanya melamun.

Iya, hanya awalnya. Karena selang beberapa menit kemudian, Seorang gadis dengan jaket armynya duduk tepat di seberang Altair, lengkap dengan secangkir kopi yang Altair tidak tahu pasti apa isinya. Err, Altair sendiri tidak yakin apakah itu secangkir kopi atau bukan.

Altair masih terpaku pada gadis itu. Manik legamnya tidak mampu melepas sosoknya. Hingga ketika gadis itu menyeruput minumannya, pandangan keduanya bertemu. Membuat jantung Altair berdentum layaknya beduk pada azan maghrib di bulan Ramadhan.

Mata gadis itu membentuk bulat sabit dengan bibir yang melengkung manis. Lagi-lagi senyum itu. Senyum yang mampu membuat Altair tidak bisa tidur karenanya. Sejenak waktu terasa berhenti.

Tangannya terangkat, menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Tersenyum kecil layaknya seorang gadis yang tengah tersipu kala mendapati gadis di depannya masih setia memandang Altair.

Tidak lama kemudian salah seorang pelayan datang, membawakan sepotong tiramisu pesanan gadis itu.

Mau tidak mau, suka memang suka, Altair kembali menatap gadis itu. Bukankah ini kesempatan yang bagus?

Atha.

Tepat di maniknya, sembari meminum Americano yang tidak terlalu panas lagi di mulutnya.

Altair sendiri yakin jika ia melihat Atha tengah tersenyum kepadanya, dengan secangkir kopi dan sepotong kue.

Mereka --Altair dan Atha-- menyantap pesanan mereka dalam diam, dengan senyum yang mengembang namun tampak malu-malu dan tatapan mata yang tak pernah lepas.

Rasanya sangat manis. Bahkan Americanonya yang pahit pun tak terasa pahit. Entah itu pengaruh dari tiramisu atau pengaruh gadis yang berada di seberangnya.

Kemudian, bersamaan dengan suapan kue tiramisu terakhirnya. Keyakinan Altair sirna saat itu juga kala mendapati seorang lelaki melewatinya sembari melambai pada Atha.

ORIGAMI GAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang