14. Once Again

380 97 6
                                    

Kehilangan nyatanya menyakitkan. Siapa yang ingin kehilangan?

Jawabannya tidak ada.

Untuk hal apapun itu, kehilangan adalah bagian terburuk dari perjalanan hidup. Tidak ada yang mengharapkannya. Kehilangan adalah kenyataan pahit yang selalu dihindari oleh orang-orang.

Termasuk Altair.

Langit di Jakarta tidak pernah benar-benar bersih. Kadang menghirup udara kotor terlalu banyak juga tidak bagus untuk pikiran dan hatinya. Itu pikiran Altair saat ini.

Saat ia kembali menemukan dirinya hancur. Bersama dengan perasaan yang tidak lagi berbentuk. Menyisakan segala penyesalan yang tidak lagi berguna. Ia kehilangan, lagi. Setelah menemukannya dalam kurun waktu yang tidak sebentar.

Hatinya kembali tersakiti. Menyalahkan takdir tentang segala yang terjadi walaupun ia tahu, jika ia ikut andil di dalamnya.

Perasaannya dilukai, lagi. Tentang semesta yang gemar mengajak manusia bergurau. Ingin diteriakkannya hingga segela emosi dalam dirinya habis.

Hei semesta, siapa kamu? Dan apa hakmu? Tidak semua orang senang diajak bergurau. Pikirmu hidup ini main-main?

Namun, rasanya percuma. Tidak ada lagi gunanya.

Altair hancur, lagi. Saat tulang pipinya lebih menonjol, bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar wajahnya serta rambutnya yang memanjang tak terurus, mungkin cukup menggambarkan seberapa hancurnya Altair.

Barang-barang berbahaya tak jauh tergeletak dimana pemuda itu berada. Bukan obat terlarang, tapi hanya beberapa bungkus rokok.

Ia tidak pernah mencoba, karna ia tau itu tidak baik untuk tubuh. Tapi sekali saja, ia ingin mengurangi rasa sakit itu. Rasa sakit yang tidak mampu meninggalkan bekas luka di tubuhnya. Rasa sakit yang tidak terlihat oleh mata.

Bahkan saat ini, Altair perlu obat tidur. Tidurnya tak pernah lelap. Ia tak yakin kapan terakhir ia tidur dengan lelap. Yang jelas hal itu membuat tubuhnya tersiksa.

Batinnya lelah. Ia lelah dipermainkan dengan rasa yang kadang membuatnya bahagia. Selemah itu ternyata.

Mungkin kisah hidupnya akan menjadi sebuah mimpi yang bisa ia bangun bersama seseorang. Suara Altair tak bisa menggapai dirinya yang jauh. Bahkan jika hanya sekali saja.

Altair memang berharap tentang bertemu lagi dikemudian hari, tapi jelas bukan ini yang ia inginkan. Bahkan disaat-saat terpuruk, Altair tak pernah berhenti memikirkan gadis itu. Apapun yang pernah ia pikirkan, jawabannya masih sama. Altair tak akan mampu hidup tanpanya.

Ia tak ingin lagi kehilangan. Ia ingin sebuah kesempatan, sekali lagi.

Ia tidak ingin ucapan selamat tinggal menjadi ucapan yang ia dengar. Karna ucapan itu sangat mengerikan.

Pada akhirnya, ia kembali ke ruangannya. Mengabaikan jendela yang dibuka dengan lebar. Mempersilakan angin malam mengisi ruangan yang sudah dingin.

Tangannya menggapai dua buah stik drum. Memukulnya keras dengan nada yang tak beraturan. Begitu seterusnya hingga drum itu sendiri sobek. Menganga seperti luka di hatinya.

Altair rasa ia bisa cukup gila jika terus begini. Pekerjaannya bahkan di ambil alih oleh Dewa. Berdalih ingin menenangkan diri. Ia cukup yakin, setidaknya saat ia kembali ke kantor, pekerjaannya tak akan berkurang meski Dewa telah mengambil alih.

"Gimana kalau seandainya kamu ngasih tau dia lebih dulu?"

Gadis itu, mengerjapkan manik bulatnya dengan cepat. Menatap seseorang dihadapannya yang tengah nenatapnya juga.

Rasa bersalah itu tak dapat ditampik oleh seorang perempuan yang tengah mengigit jari. Tapi ia bukan satu-satunya orang yang mengetahui hal tersebut.

Gadis itu menatap tunangannya dengan mata yang berkaca-kaca. Sebenarnya tidak ada maksud menghakimi, lelaki itu-- Abra-- hanya bertanya. Perandaian yang akan terjadi jika Alice memberitahukan lebih cepat kepada Altair.

Alice menunduk dalam. "Altair nggak akan sehancur itu. Maaf..." suara gadis itu melemah. Ia tidak sanggup menatap tunangannya lebih lama.

Abra menghembuskan napas pelan, membawa Alice ke dalam pelukannya. Mengelus surai panjang Alice. "Bukan salah kamu."

Kepala gadis yang berada di dekapannya itu menggeleng. "Andai aku ngasi tau, semuanya nggak akan begini, Abra."

"Aku paham, tapi bukannya Jeffry atau bahkan Radha juga tau? Semua ini udah ada yang ngatur. Tuhan udah buat skenario sendiri-sendiri buat hambanya. Jangan ngerasa bersalah."

Meskipun Abra berkata demikian, Alice tetap menangis. Mengeratkan pelukannya pada tubuh tegap Abra. Ia akan meminta maaf pada Altair lain waktu. Setidaknya hingga keadaan cukup membaik.

Altair pikir samsak pemberian Jeffry tahun lalu tidak akan berguna. Sudah hari kedua. Dan Altair masih sama. Mengisolasi diri dari dunia luar.

Lelaki itu hanya membalut kedua tangannya dengan pelindung seadanya. Tubuhnya penuh peluh, wajahnya juga merah padam. Memukul samsak berwarna hitam tak kenal lelah.

Beberapa jam lagi, mungkin Altair akan ditemukan dengan keadaan tidak sadarkan diri.

Ya, jika saja seseorang tidak masuk ke dalam ruangannya dan menemukan Altair yang memukul samsak dengan membabi buta.

"Altair! Kamu gila!?" Sepertinya perkiraan Altair salah. Seruan Darrel terdengar sayup di gendang telinga Altair. Bukan beberapa jam, dirinya sudah ambruk bahkan sebelum 5 menit. Syukurnya tidak sampai hilang kesadaran.

Darrel membantu adik iparnya itu untuk bangkit. Membawa tubuh besar Altair menuju ke sofa tengah dan memberikannya minum.

Setelah menegak minuman yang diberikan oleh Darrel, Altair mulai mengatur napas. "Jangan kasih tau Mama sama Kak Dinar. Aku perlu waktu sendiri, Bang."

Darrel menghela napas kasar, menatap Altair tidak mengerti. Terlebih saat suara Altair terdengar sangat lemah.

"Jangan sampai buat tubuh kamu sakit, Altair. Pulang ke rumah. Untuk sementara jangan tinggal di apartemen sendirian." Suara Darrel terdengar tegas. Lelaki itu tidak butuh bantahan.

Benar saja, kelemahan seorang lelaki adalah seorang perempuan. Darrel mengakuinya. Menatap kasihan pada Altair yang terlihat tidak bernyawa.

"Altair?"

Altair mengangguk, menuruti permintaan Darrel dengan mata yang terpejam.

Ia lelah.

🌟🌟🌟

Hayolo awokawokawok

Kalo kalian menemukan typo, silakan ditandai atau dikoreksi. Nanti insya allah akan aku edit lagi. Kadang meskipun sesuatu udah kita periksa berulang kali, kesalahan yang bahkan sebesar biji kedelai tetap masih ada 'kan?

Ehehee

Selamat hari jumat, semoga kalian sehat dan bahagia selalu, aku sayang kalian

ORIGAMI GAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang