Altair menopang dagu, melihat stand yang berjejer di lapangan. Kebanyakan menjual makanan dan minuman. Dan Altair tidak tergugah untuk mencoba.
Dylan yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya melirik pada Altair yang akan beranjak dari tempatnya.
"Mau kemana, Al?"
Altair menengok ke belakang, menatap Dylan dan ponselnya bergantian. "Ke ruang musik."
Alis lelaki berkulit kecoklatan itu tertaut. Mematikam ponsek seraya memasukkannya ke dalam saku celana seragam.
"Ngapain ke ruang musik?"
"Main. Daripada berdiri nggak jelas di stand orang. Acaranya juga masih lama mulainya."
Dylan mengangguk, memilih mengikuti langkah Altair. Jika dipikir, perkataan Altair ada benarnya. Toh, mereka tidak mengikuti lomba atau semacamnya.
Altair lebih dulu membuka pintu, berjalan menuju drum yang berada di pojok ruangan berdekatan dengan jendela.
"Lo mau main drum?" Altair mengangguk. Mengetes suara drum di depannya sebelum akhirnya terlarut dalam permainannya sendiri.
Dylan bahkan tidak tahu jika Altair dapat memainkan drum. Ia kira lelaki seperti Altair lebih menyukai Gitar atau Piano.
Lelaki itu lupa jika pintu ruangan musik belum di tutup, meskipun kedap suara jika pintu tidak tertutup maka akan sama saja.
Di akhir permainan drum Altair, Dylan tadinya ingin bertepuk tangan andai saja tidak ada yang mendahuluinya.
Gadis tu tersenyum manis dengan mata yang menyipit di depan pintu. "Kak Altair keren banget." Ujar gadis itu dengan memberikan dua jempol.
Sementara Altair yang merasa dirinya diterbangkan ke angkasa hanya dapat mengedipkan mata beberapa kali dengan rona merah yang menjalar hingga ke telinga. Lelaki itu menelan ludah susah payah.
Tidak menyangka jika permainannya akan disaksikan oleh Atha. Pandangannya kemudian beralih pada Dylan yang sibuk menggelengkan kepalanya dengan sorot mata yang dapat Altair artikan-- gue kagak tau, sumpah. Kurang lebih seperti itu.
Altair kemudian mengangguk, mengucapkan terima kasih dan menanyakan tujuan Atha ke ruang musik.
"Saya cuma mau ambil gitar buat anak-anak perform accoustic nanti."
Dylan dan Altair hanya mangut-mangut mengerti.
"Kak Dylan sama Kak Altair kenapa di ruang musik? Nggak ke bawah?" Tanya gadis itu membuka suara setelah hening melanda. Tubuh kecilnya sibuk berjinjit untuk menggapai gitar di atas lemari.
"Altair katanya gabut, jadi ke sini. Males juga ke stand."
"Oh, begitu..." sesekali gadis itu melompat-lompat. Namun, hasilnya nihil.
Dylan yang sudah tidak tahan lagi memberi kode pada Altair untuk segera membantu Atha. Padahal ia sangat yakin jika Altair itu sangat peka. Tapi mengapa pergerakannya begitu lambat. Dylan 'kan jadi gemas sendiri dibuatnya.
Gadis itu juga sama saja. Semua perempuan sama saja. Kenapa Atha tidak meminta bantuan untuk mengambil gitar itu. Dylan sangat yakin jika Atha tidak akan dapat mengambil gitar itu kecuali ia menggunakan bangku atau semacamnya sebagai bantuan.
Dan Altair... masih berdiam diri. Menatap Atha yang sibuk melompat.
Entah apa yang dipikirkan Altair. Dylan tidak tau, ia bukan cenayang.
"Kak Dyl, boleh minjem kursinya?" Gadis itu bertanya dengan masih melompat ria.
Dylan menghembuskan napas pasrah, mengangkat kursi yang sedari tadi ia duduki dan berniat memberikannya kepada Atha atau bahkan membantu gadis itu mengambil gitar sebelum Altair lebih dulu berdiri tepat di belakang gadis itu. Meraih gitar di atas lemari. Membuat pergerakan Dylan dan Atha terhenti secara sempurna.

KAMU SEDANG MEMBACA
ORIGAMI GAJAH
Teen FictionTidak ada yang lebih indah dari jatuh cinta. Itu yang aku rasakan selama ini. Kamu tahu? semua hal yang menyangkut tentangmu akan selalu menjadi bagian favoritku. Bahkan untuk hal sekecil apapun. Tidak banyak yang tahu, tapi selama ini dan sejauh...