Epilog

594 75 6
                                    

Jam tidur Altair sudah jauh lebih baik sekarang. Tidurnya sangat lelap, terlihat seperti orang mati. Setelah shubuhan, lelaki itu kembali melanjutkan tidur.

Hal yang kemudian membuat seorang gadis di yang sedari tadi berada di apartemennya itu berkacak pinggang. Dalam otaknya menghitung, menyiapkan aba-aba dan, "Argh!"

Sempurna. Altair membuka matanya. Terlebih saat menerima beban yang menimpa tubuhnya secara tiba-tiba. Ia pikir ia sedang bermimpi tertimpa alat berat, ternyata bukan.

Helaan napas terhembus dari sela bibirnya. Melihat seorang gadis yang sedang menempelkan wajahnya pada dada bidang Altair. Untungnya ia tidur menggunakan kaos, coba kalau tidak? Sudah pasti alamat buruk.

"Anatha, banguninnya nggak bisa lebih lembut, hm?" Wajah gadis itu terangkat, menatap Altair datar dan menaikkan tubuh. Bukan pertanda bagus sebab sepersekon kemudian Altair menggeram.

"Kenapa jam segini masih tidur?" Pemuda itu tersenyum, tangannya terulur untuk memeluk Atha. Gadis itu tidak bertumpu pada apapun, membuat tubuh mereka menempel semua. Alasan yang mampu membuat Altair khawatir tentang pengendalian dirinya sendiri.

"Capek,"

"Begadang lagi semalem? Aku 'kan udah bilang jangan keseringan begadang. Nggak baik buat tubuh kamu. Aku nggak mau ya waktu akad nikah sama resepsi nanti kamu malah pingsan."

Atha-nya yang selalu cerewet. Satu dari banyaknya sifat yang Altair sukai dari gadis itu.

"Iya-iya, nggak lagi."

Atha mendengus, menaikkan tubuh guna mengecup tahi lalat yang berada di bawah bibir Altair. Hal yang lantas membuat sudut bibir Altair naik.

"Kamu selalu bilang gitu, tapi terus-terusan diulangi."

Altair terkekeh pelan, "iya, nggak lagi, Anatha. Ini yang terakhir. Janji."

Gadis itu berguling pada sisi kosong di sebelah Altair. Memandangi langit-langit kamar Altair sejenak sebelum akhirnya bangkit dan membuka tirai. Membiarkan cahaya matahari mengisi kamar tidur Altair.

"Sana mandi, tadi aku beliin bubur ayam. Aku tunggu di bawah, ya."

"Jadi kamu sukanya yang mana? Masa dari sekian gaun yang aku coba nggak ada yang cocok?"

Altair menghela napas. Terlebih saat Mama Karina memberinya tatapan menusuk. Bersiap untuk melayangkan protes.

Berapa, ya?

Mungkin sudah terhitung 1 jam lamanya Atha memilih gaun yang akan ia kenakan pada hari pernikahan mereka. Tetapi, tetap saja gaun yang Atha coba belum ada yang sesuai dengan kemauan Altair.

Lelaki selalu begitu. Terlalu terbuka-lah, tertutup-lah, kuno-lah, dan masih banyak lah-lah lainnya.

Inginnya mencoba sekali dan langsung menemukan sekali, tapi Altair tetap tidak suka. Atha sih hanya menurut saja.

Padahal ia bisa membuat sendiri atau Fajar yang membuatkannya. Tapi temannya yang satu itu sedang hamil besar, Atha dan Restu tentu melarangnya untuk membuat gaun atau yang lainnya.

Atha menghembuskan napas lelah, "aku punya satu desain gaun, mungkin bakal cocok sama selera kamu. Dari pada bolak balik nyobain gaun terus."

Mama Karina jelas tidak setuju. Kepalanya menggeleng dengan tegas. "Nggak bisa dong sayang, masa kamu sibuk sendiri nanti? Kasian kamu-nya dong."

Kalau begini sudah jelas. Setibanya di rumah nanti, Altair pasti akan dimarahi habis-habisan oleh Mama-nya. Ingatkan Altair untuk pulang ke apartemennya nanti.

Atha tersenyum manis, sebisa mungkin menyakikan Mama Rani. "Nggak pa-pa, Ma. Lagian tanggalnya masih lama. Masih 4 bulan lagi. Atha bisa kok, nanti dibantuin sama pegawai juga."

Jika sudah begitu, Mama Karina bisa apa? Kalau Altair jelas hanya berdiam diri. Mengangkat suara pun rasanya salah.

Ya, mungkin kodratnya lelaki memang serba salah di mata perempuan.

Para ibu memang selalu semangat mempersiapkan pernikahan anaknya, pun begitu dengan Mama Karina dan Bunda Rani.

"Beneran nggak pa-pa buat gaunnya sendiri?" Lelaki dengan kemeja yang dilipat hingga ke siku itu bertanya setelah menegak segelas cola.

"Iya, nggak pa-pa. Enakan buat sendiri. Mama sama Bunda aja yang terlalu exited."

Gadis itu melipat beberapa seprai. Keduanya saat ini sedang berada di apartemen Altair. Hujan di luar sana membuat keduanya malas untuk melakukan aktivitas. Apalagi di akhir minggu seperti saat ini.

"Ganti baju dulu, habis itu makan. Atau mandi sekalian."

"Nggak mau mandi bareng?"

Kedua pipi gadis itu lantas merona, menatap Altair dengan sangar. "Heh! Kenapa ngomongnya gitu? Belum sah, Kak. Inget belum sah!"

Bukannya merasa bersalah, lelaki itu malah menghampiri Atha. Mendekapnya dengan erat seraya memejamkan mata.

Ia tidak ingin berbicara, biarkanlah pelukannya yang berbicara. Penantian itu begitu lama, dan Altair bersyukur atas jawaban yang Tuhan berikan kepadanya.

Atha pun sama, memeluk dengan erat dan hangat. Tubuh besar Altair berhasil membuatnya aman dan nyaman. Tidak memperdulikan petir yang berbunyi nyaring. Asal bersama, semua hal akan di anggap tiada. Dunia milik berdua kata orang-orang.

"Aku sayang kamu, Tha. Makasih udah sejauh ini. Makasih udah hadir dalam hidup aku."

Pelukan itu terasa semakin hangat, Atha menggangguk dalam dekapan Altair. "Meskipun aku belum inget semuanya, aku bakal coba inget memori kita dulu."

Altair tersenyum, membuat sedikit jarak dan menatap kedua manik Atha dalam. "Kamu nggak perlu maksain diri, Atha. Kita cukup berjuang bersama dan ngadepin masa depan sama-sama."

Pelukan itu sedikit melonggar, Atha mengangkat kepalanya dan menatap Altair seraya tersenyum manis. Sudah berkali-kali Altair melihat senyum itu dan sudah berkali-kali pula jantungnya selalu berdegup kencang.

"Berisik banget jantungnya."

Altair terkekeh, "iya berisik banget."

"Kak Altair, makasih. Makasih buat semuanya."

"Anything, Anatha. Anything."

Ah, hujan di luar sana menambah suasana romantis di antara keduanya. Lupakan acara makan atau mandi. Nyatanya yang dilakukan Altair adalah memutus jarak antara keduanya. Mengawali dengan kecupan pelan, sebelum akhirnya melumat bibir manis Atha lembut.

Dalam diam Altair berjanji jika ia tidak akan melepaskan Atha-nya lagi. Cukup sekali ia menjadi bodoh, tidak lagi dan tidak akan pernah.

🌟

Haiii! Maaf banget aku munculnya lama, ada satu dua hal yang buat aku lama nulis epilog ini. Padahal mah tinggal nulis aja yakan. Wkwkwkwk.

Enjoy this story ya, semoga kalian selalu sehat. Nantikan cerita aku selanjutnya ya

Sayang kalian pake banget💜

ORIGAMI GAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang