8. Butterflies

519 116 14
                                    

Altair menghela napas. Berlalu meninggalkan Abra yang tengah menunggu Alice. Jika ia berada di sana terus menerus, dapat dipastikan jika Altair hanya akan menjadi nyamuk.

Lelaki itu mengukir langkah di atas keramik koridor sekolah yang dingin dan penuh debu. Bel pulang sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Hanya segelintir siswa yang masih berada di sekolah termasuk dirinya.

Altair mengenakan helmnya. Menepuk Redy si jago merah miliknya. Jika Abra memiliki Blacky dan Dylan memiliki Blueky maka Altair memiliki Redy.

Saat hendak menjalankan motornya, seorang siswi jatuh tepat di depan motornya. Membuat Altair langsung menghampiri siswi itu seraya melepas helm dan berjongkok di depannya.

"Hei? Ada yang sakit?" Tanya Altair karena gadis itu sedari tadi memegang pergelangan kakinya sembari meringis kecil.

"Kaki saya keseleo, Kak."

Altair mengerjapkan maniknya cepat kala menyadari sosok di depannya. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Mendadak tubuhnya kaku.

Oh ayolah, Altair...

"Bisa berdiri?"

Gadis itu menggeleng lemah. Tentu saja sulit untuk berdiri saat kakinya sedang keseleo. Mengapa Altair bertanya tentang hal yang sia-sia?

"Yaudah, Saya bantuin."

Degdeg degdeg

Altair dengan perlahan membantu Atha untuk berdiri. Kedua tangannya memegang lengan ringkih milik Atha.

Benar. Siswi yang jatuh di depan motornya adalah Atha. Gadis itu tersenyum. "Makasih, Kak."

Altair tidak menjawab. Masih terpaku dengan senyum manis yang diberikan oleh Atha. Senyum yang menjadi bayang-bayang di setiap mimpi indahnya.

"Kak?"

"Oh? Eh? Apa?"

Bodoh. Tidak apa, hujat saja Altair. Dengan ikhlas Altair akan menerima hujatan itu.

"Makasih." Altair hanya mengangguk cepat.

Hening. Atha tidak kunjung pergi. Gadis itu menatap Altair takut-takut.

Meskipun terbilang cukup pengecut, Altair adalah tipe lelaki yang cukup peka di abad 21. Dengan inisiatifnya sendiri dan keberanian yang hanya secuil, Altair memberanikan diri untuk bertanya. "Kenapa?"

Altair dapat menyaksikan bola mata jernih itu nampak sedikit membulat terkejut dan sedikit kikuk.

"Oh? Ehm... saya bisa minta tolong, nggak, Kak?"

"Minta tolong apa?"

Atha nampak menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dengan kaku. "Bisa tolong anterin saya ke rumah?"

Blank.

Altair tak mampu berpikir jernih saat ini. Otaknya bekerja amat lambat saat suara lembut itu mengalun dengan indah dan meminta suatu hal yang sukar untuk Altair tolak.

Inginnya tersenyum lebar, namun menjaga imej tetap nomor satu. Mungkin ia akan menyalurkan kesenangannya melalui bola basket di rumah yang Dinar simpan dengan rapi.

Lelaki itu menelan ludahnya kasar. Membasahi tenggorokannya yang terasa kering. "Boleh."

Senyum yang sempat sirna beberapa saat lalu itu kemudian kembali terbit. Mengalahkan silau mentari siang ini.

Altair menuntun Atha untuk berjalan mendekati motornya. Ia naik terlebih dahulu dan menengok ke arah Atha yang nampak kesusahan. "Pegang pundak saya aja."

ORIGAMI GAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang