5. Fireflies

703 134 29
                                        

Altair meletakkan kedua tangannya di belakang kepala, menjadikannya sebagai bantal. Kegiatannya begitu padat hari ini. Rasanya tubuhnya remuk.

Setelah lembur, ia tak langsung pulang. Lelaki itu melipat kemejanya hingga kesiku. Membaringkan tubuhnya pada lantai rooftop. Tak perduli jika lantai itu kotor atau semacamnya.

Ia hanya ingin merenung. Mengangkat sedikit beban yang ia miliki seraya menatap hamparan cahaya di atas dan di bawah sana. Melalui gedung tinggi ini. Keduanya indah, dalam artian masing-masing.

Lelaki itu memejamkan mata. Menelisik memori yang ia punya di kepalanya. Hatinya berdesir.

"Sampai kapan..." gumamnya.

Ini sudah terlalu lama, sejak terakhir mereka bertemu. Prom night malam itu. Malam yang tak akan pernah Altair hapus dari ingatannya. Sebab malam itu, menjadi satu malam terindah untuknya.

"Kamu dimana Anatha?"

Ah, Altair bisa gila. Ia harus menemui gadis itu secepatnya. Mengungkap segala rasa yang terpendam. Tapi kenapa susah sekali menemukannya?

Jujur, Altair rindu. Entah bagaimana rupanya sekarang. Apakah masih sama? Apakah ada yang berubah? Bagaimana kabarnya? Sedang apa ia? Apakah gadis itu masih sendiri?

Pertanyaan itu terus memutari kepalanya setiap hari, setiap waktu jika sempat. Altair memilih menyibukkan diri, menepis segala pertanyaan itu. Namun, ia selalu gagal.

Mencari yang lain seperti rekomendasi sahabatnya tentu tidak ia lakukan. Karna yang Altair inginkan hanya gadis itu. Kemarin, besok atau bahkan selamanya.

Tidak ada yang bisa menggantikan. Altair baru akan menyerah jika gadis itu telah menikah. Jika sudah menikah, berarti mereka berjodoh. Kalaupun tidak, cerai bisa jadi jawabannya. Dan Altair siap menunggu.

Altair jadi ingin dipeluk berjuta kunang-kunang saat ini.

"Al, gue sama Alice besok mau tunangan. Lo harus dateng. Nggak bawa pasangan juga nggak pa-pa. Soalnya ini baru tunangan. Nanti kalo gue sama Alice nikah baru lo harus bawa pasangan."

Alice yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya. Wanita cantik itu terkekeh pelan seraya mencubit perut Abra, membuat si empunya mengaduh kesakitan. Wajah Altair berubah masam. "Kamu nggak lihat mukanya Altair udah kayak gimana? Kasian tau, Bra."

Abra yang mendengar itu membulatkan matanya. Ekspresi wajahnya berlebihan, seperti apa adanya Abra. Bukan karna ucapan Alice, tapi karena hal lain. "Alice... tolong banget jangan manggil aku gitu. Aku nggak mau disama-samain, sama daleman perempuan."

Alice menahan senyum, "kamu mau disamain sama daleman perempuan?"

Abra menggeleng. Siapa pula yang ingin disamakan dengan dalaman perempuan?

"Yaudah, santai aja. Mending semangatin Altair, mukanya lesu banget itu."

Abra kemudian kembali menatap Altair yang juga tengah menatapnya.

"Jangan dengerin Abra, Al. Jodoh juga siapa yang tau. Tapi mudahan lo dapet sebelum gue sama Abra nikah."

Altair mendengus. Setidaknya Alice lebih baik daripada Abra.

ORIGAMI GAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang