23. Time Machine

416 97 21
                                        

" Right now, if I could ride a time machine
and go to meet you
I wouldn't wish for anything else
Before the memories become distant and fleeting. "

Ruangan itu tampak temaram. Sinar rembulan menelusup masuk melalui jendela yang tirainya tidak ditutup. Sudah tiga hari ia mengurung diri di apartemennya.

"Kamu bahkan nggak inget aku, Tha."

Altair tersenyum kecut. Rambutnya masih sama, tak beraturan. Lelaki itu selalu rajin bercukur sesibuk apapun dirinya, namun kali ini tidak. Bulu-bulu halus dibiarkannya tumbuh begitu saja. Altair jelas tidak baik-baik saja. Kantung mata lelaki itu bahkan terlihat jelas.

Altair baru saja akan berjuang. Namun, fakta lain membuat hatinya teriris.

Entah itu kenangan manis atau bukan, tapi jelas-jelas Altair memiliki Atha di segala memori yang ia miliki. Beberapa bagian mungkin akan sangat berharga untuknya dan Atha.

Tapi Atha melupakannya begitu saja. Seolah-olah mereka memang benar-benar orang asing. Altair bahkan tidak meminta lebih. Namun, dadanya kembali sesak.

Andai ia memiliki mesin waktu dan pergi menemui Atha, ia tak akan meminta lebih. Sebelum ingatan itu menjdi jauh. Setidaknya kembali saat mereka masih duduk di hangku sekolah menengah Atas.

Ketukan pintu diabaikan, Altair masih bergeming saat Dylan memasuki unit dan menyalakan lampu utama. Apartemen itu bersih, masih tertata rapi dan tidak ada yang berantakan, penghuninya terkecuali.

"Al, are you okay?"

Altair menggeleng. Jelas ia jauh dari kata baik-baik saja. Ia ingin merengkuh tubuh gadis itu. Membawanya ke dalam dekapan hangat Altair. Menelusuri memori yang mereka memiliki. Mengenang kenangan yang gadis itu lupakan.

Sementara waktu berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin acara reuni itu terlaksana. Dylan menatapnya prihatin. Altair benar-benar kacau. Lebih kacau dari sebelumnya. Dylan sendiri tidak mengerti jika saja Fajar tidak menjelaskan karena Altair tidak kunjung membuka mulut.

Untuk masalah hati, sepertinya akan selalu rumit. Altair memijat pangkal hidungnya. Sementara Dylan menghembuskan napas pelan, memutar otak.

Lihat saja beberapa kotak rokok yang berada tidak.jauh dari tempat Altair berada. Seingat Dylan, Altair bahkan paling anti dengan barang seperti itu.

Lelaki itu mengambil tempat di samping Altair. Ia kira unit Altair kosong karena lelaki itu duduk dengan kaki terlipat di belakang sofa, berhadapan dengan jendela besar.

Menarik napas, mengikuti arah pandang Altair.

"Al, gue tau lo kecewa. Tapi nggak ada salahnya 'kan lo coba sekarang? Fajar sendiri bilang ada kemungkinan ingatan Atha pulih lagi. Kalaupun yang dibilang Fajar bener tentang perasaan Atha ke lo, berarti lo punya pengaruh besar buat Atha."

Altair baru menoleh saat Dylan menyelesaikan kalimatnya. Apa yang dikatakan oleh Dylan tentu benar.

"Belum terlambat, Al. Lo bisa bantu Atha buat inget lagi. Sebenernya ini nggak seburuk apa yang lo pikirin. Mending lo tidur, cukuran, bersih-bersih sebelum temuin Atha. Jelek banget lo sumpah."

Altair menyeringai, menatap kembali jendela di depannya. Mengapa ia sendiri ragu?

"Bantu dia buat bangkit. Yah, meskipun gue sendiri nggak yakin, lo sama Atha pasti punya sesuatu hal yang istimewa. Anjir bahasa gue. Bijak bener. Geli juga gue, shit."

ORIGAMI GAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang