26. Only Then

423 93 38
                                    

Bukan hanya sehari dua hari, selama seminggu penuh Altair tidak menemukan Atha dibutiknya. Pesannya juga tidak terbalas.

"Saya nggak bakal nyerah begitu aja, Tha. Saya udah nunggu kamu dalam waktu yang cukup lama. Saya bahkan ngerti kalau kamu lupa sama saya. Tapi seenggaknya kasih saya kesempatan. Saya udah coba dari dulu, dan saya sadar kalo saya nggak lebih dari sekedar pengecut."

Altair sendiri tidak tahu jika ia akan senekad ini. Berdiri dengan pakaian yang basah dari atas hingga bawah. Lelaki itu menyisir rambutnya ke belakang. Giginya terkatuk, meskipun ia memilih bertahan, tubuhnya tidak dapat berbohong tentang hawa dingin yang menjalar di sekujur tubuh.

"Kak Altair, Kakak bisa sakit kalau berdiri di sini terus."

Ia akan selalu mengingatnya. Rumah abu-abu dengan pagar hitam.

Altair menggeleng tegas, masa bodoh dengan sakit atau semacamnya. Ia sudah kepalang tidak enak badan, ingin berhenti sekarang ataupun nanti, pada akhirnya ia hanya terbaring lemas di ranjang dengan plester penurun panas di dahinya.

"Kasih saya kesempatan Atha. Saya bahkan baru memulai."

Di bawah guyuran air yang menyirami kota, dengan temaram sinar rembulan berpelindung payung berwarna ungu. Atha dapat menangkap keseriusan di dalamnya netra gelap Altair. Entah kisah apa yang mereka miliki di masa lalu.

Namun, melihat Altair berdiri di tengah hujan seperti ini membuat darahnya berdesir. Gadis itu hanya ingin memperjelas, tapi melihat tekad Altair membuat ia mengurungkan niat. Memberitahu lain waktu sebelum ia kembali berubah pikiran.

"Tapi apa yang kakak denger itu salah paham. Saya nggak lagi dijodohin sama siapa-siapa. Jadi, masuk dulu, ya? Ganti baju Kakak. Nanti Kakak sakit."

Raut wajah Altair berubah saat itu juga. Menyatukan memori demi memori di dalam kepalanya. Akhir-akhir ini ia tidak berpikir panjang.

Sepertinya Atha mengira Altair mendengar tentang perjodohan. Tapi tunggu, jadi apakah ada yang membicarakan perjodohan saat itu?

Ah.

Entah efek kehujanan atau terserahlah apa namanya, yang jelas Altair senang saat Atha mengkhawatirkan dirinya.

Tentang kesalahpahaman yang terjadi, barangkali dapat ia luruskan malam ini bersama Atha. Semua akan menjadi lebih jelas. Altair dibuat tidak sabar saat memikirkannya.

"Kak Al? Masuk dulu, ya?"

Buru-buru Altair mengangguk. Mengikuti langkah kecil Atha yang sedang menarik tangannya. Rasanya lucu hingga mampu membuat Altair tidak dapat berpikir jernih.

"Kak Altair bisa tidur di kamar saya. Kebetulan kamar tamu belum dibersihin."

Atha datang membawa satu set pakaian di tangannya. Gadis itu mengorek isi lemarinya dan mendapati beberapa pakaian yang dapat Altair gunakan.

Untungnya ia mempunyai baju kebesaran dan celana training yang juga kebesaran. Entah mengapa ia mempunyai barang-barang kebesaran seperti itu. Ia tidak mengingatnya. Mungkin saja itu milik Ayah Hilman yang terikut cuciannya.

"Di laci ada sikat gigi baru, bisa Kak Altair pakai."

Altair mengangguk, lelaki itu baru akan melangkah masuk jika saja suara lembut milik Atha tidak menghentikannya.

"Kak? Baju Kakak boleh saya keringin?"

Pemuda itu awalnya terkejut. Namun, tak urung melepaskan baju. Atha tidak bermaksud seperti itu, tapi sepertinya Altair salah mengartikan dan Atha salah berbicara.

ORIGAMI GAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang