Sebuah televisi menyala di ruang yang gelap itu. Langit di luar sana juga demikian. Waktu sudah menunjukkan pukul 8.23 malam. Tapi sepertinya seorang lelaki masih betah memandang kosong pada televisi yang menyiarkan siaran bulutangkis secara langsung.
Suara pintu terbuka mengalihkan atensi pemuda itu. Memandang malas pada sosok lain yang tengah menunjukkan deretan giginya yang rapi.
"Malem ini gue nginep, ya? Suntuk di rumah."
Itu adalah satu dari sekian alasan yang Abra berikan. Bukan alasan utama, tapi Altair juga tak menolak.
"Gue nyalain lampu ya, Al? Gelap banget kayak kandang setan habisnya." Tanpa menunggu jawaban Altair, Abra menekan saklar lampu. Mengambil tempat di sebelah Altair.
Apartemen Altair itu seperti tempat pelariannya. Pemuda itu tidak akan pulang ke rumah jika merasa kepalanya sangat penuh.
Pemuda dengan senyum kotak itu tadi sebenarnya sudah bertandang ke rumah orang tua Altair dan mendapat kabar jika Altair sudah tidak pulang ke rumah semenjak dua hari lalu. Itu yang dikatakan oleh Dinar.
Abra menepuk pundak Altair. "Gue tau lo pasti frustasi nyari Atha, tapi perhatiin juga diri lo sendiri. Potong rambut kek, sukur-sukur masih mandi lo."
"Gue cupu banget ya, Ar?" Pertanyaan itu sebenarnya diajukan untuk dirinya sendiri.
Sudah hapal di luar kepala, Altair akan selalu seperti ini saat bayangan tentang Anatha mengusik jiwanya. Merasuk dalam sepi yang mengejeknya. Pada akhirnya, Altair tidak pernah tidak memikirkan Atha selama ia hidup dan selama ia mencintai gadis itu dengan begitu dalam.
Sejak pertama, Altair tau benar jika gadis itu adalah satu-satunya. Terdapat sebuah tempat di hati Altair dengan kenangan yang pernah tak sengaja terukir.
Tragisnya, Altair tak pernah mengatakan perasaan yang ia miliki untuk gadis itu.
"Nah itu lo tau! Kenapa harus diperjelas? Udah kenyang gue waktu SMA ngatain lo cupu." Abra meraih sebotol cola yang belum dibuka di atas meja, menegaknya setengah dan memandang Altair miris.
"Gue udah kasih semua arahan yang gue punya, tapi balik ke diri lo sendiri, Al. Mau ngejekin lo sampai mulut gue berbusa juga rasanya percuma." Abra bangkit dari tempatnya, lelaki itu pergi menuju salah satu kamar di apartemen Altair.
Sesibuk apapun Altair, nyatanya eksistensi gadis itu tak dapat Altair hindari.
Lelaki itu kembali mematikan lampu dan pergi menuju ruang kerjanya. Saat Altair merindukan Atha, alat musik yang dimainkan dengan cara dipukul itu akan menjadi objek pelampiasannya.
Drum yang membuat rasa rindunya sedikit berkurang. Meskipun hanya terhitung 0.15% saja.
Segala bentuk rasa yang ia pendam, akan ia salurkan dengan nada yang terdengar tidak beraturan tetapi tetap terdengar bagus.
Untungnya ruang kerja Altair kedap suara. Ia tidak perlu khawatir jika permainannya akan mengganggu orang lain.
Atau jika drum tidak lagi mampu membendung rasa rindu yang semakin hari semakin memuncak, Altair akan menggambar sesuatu yang mengingatkannya tentang gadis itu.
Dada Altair bergemuruh. Mengapa jalannya sangat buntu?
⭐
Altair sedang mendengarkan laporan Dewa dengan seksama. Beberapa kali mengernyit saat mendapati jadwal yang semakin hari semakin padat.
"Jam 10 nanti, Pak Altair akan mengawasi secara langsung gedung apartemen yang baru di bangun." Dewa mengakhiri laporannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ORIGAMI GAJAH
Teen FictionTidak ada yang lebih indah dari jatuh cinta. Itu yang aku rasakan selama ini. Kamu tahu? semua hal yang menyangkut tentangmu akan selalu menjadi bagian favoritku. Bahkan untuk hal sekecil apapun. Tidak banyak yang tahu, tapi selama ini dan sejauh...