31. Best Part

480 88 10
                                    

Segala pekerjaan itu memang melelahkan. Mungkin ada yang dapat dikerjakan sembari berleha-leha, tetapi akan tetap melelahkan bukan?

Atha memperpanjang perjalanannya di kota yang terkenal romantis, Paris. Hanya dua hari tapi tetap berharga. Terlebih Ayah Hilman ikut. Akan sempurna jika saja Bunda Rani dan Regina ikut serta.

Cabang perusahaan mereka juga memperlihatkan hasil yang signifikan. Cukup untuk membuat Fajar dan Atha tersenyum puas. Usaha mereka tidak sia-sia.

Gadis itu merapatkan mantel. Ayah Hilman sedang membeli kopi untuk mereka berdua.

Kota Paris selalu indah. Jika dapat, Atha ingin menghabiskan waktu berbulan madunya di sini. Pasti sangat menyenangkan.

"Ayah beliin kamu latte." Gadis itu tersenyum manis pada sang ayah. Sepanjang perjalanan sepasang anak dan ayah itu menghabiskan banyak obrolan.

Termasuk tentang masa depan. Bukan pasangan. Sama-sama mengagumi keindahan kota Paris. Pohon-pohon yang berjejer. Lampu kota yang menyala jika malam akan tiba. Cahaya keemasan yang akan melingkupi bangunan besi ikon kota Paris itu akan sangat indah.

"Harusnya kita naik ke atas ya, Na. Biar bisa lihat sungai Seine."

"Dari sini juga masih bisa lihat sungainya kali, Yah."

Latte dalam gelas kertas itu tidak lagi hangat. Ayah Hilman masih sibuk mengagumi sekitar saat Atha melirik.

"Ayah nggak harusnya ikut ke sini. Perusahaan Ayah lagi sibuk-sibuknya. Kasian Gina kalau ditinggal sendiri." Atha akhirnya mengatakan hal yang mengganjal hatinya. Adiknya itu masih belajar, tapi Ayah Hilman bahkan sudah melepasnya begitu saja.

Ayah Hilman tertawa. "Ibarat burung, dia nggak akan bisa terbang bebas kalau kita kekang. Burung mengepakkan sayap kemudian melebarkannya untuk terbang tinggi. Kamu tau apa artinya, Ana?"

Atha menggeleng sebagai jawaban. Ia selalu suka saat berbicara dengan orang tua. Pengalaman hidup yang mereka dapatkan selalu membuat Atha belajar. Terlebih kalimat dengan bahasa yang tinggi.

"Kita sering membatasi diri terhadap pandangan hidup atau bahkan potensi diri. Kadang lebih membebani. Tapi ini adalah hidup kita. Nasib tentu ada di genggaman kita. Takut terjatuh itu hal yang wajar, tapi ketika terjatuh kita akan lebih pandai lagi untuk terbang, karena kita tahu apa yang membuat kita terjatuh.

Ayah melepas tanggung jawab untuk diberikan ke Regina jelas bukan tanpa alasan. Ayah kasih Gina kebebasan untuk mengeksplor diri, tanpa perintah Ayah. Adikmu itu sudah pernah merasakan jatuh bangun. Hal itu juga yang buat dia semakin kuat. Ayah mungkin sering mengkritik cara kerja dia, tapi sekalipun dia nggak pernah ngeluh."

Atha terdiam, dirinya masih sibuk mencerna kalimat yang barusan sang ayah lontarkan. "Secara nggak langsung, Ayah bilang kalau Gina sukses terbang tinggi?"

Kerutan-kerutan itu tidak mengurangi wajah tampan Ayah Hilman. Ayahnya yang berharga. "Gina masih belum terbang tinggi. Masalah di masa depan jelas lebih sulit, tapi itu nggak akan buat semangatnya luntur, Ana. Begitu pula dengan kamu."

Lampu-lampu mulai menyala. Nampak indah saat berpadu dengan langit senja yang mungkin akan segera menghilang.

Atha merebahkan kepalanya pada bahu kokoh sang Ayah. Usapan lembut dari tangan kasar Ayah Hilman membuat gadis itu nyaman. Sudah lama rasanya ia tidak bermanja dengan sang Ayah.

Berada di titik ini tentu tidak mudah. Kakeknya dan Ayah Hilman membangun perusahaan dari nol. Tidak lama lagi, Gina akan mengambil alih perusahaan itu.

"Ana, ayah nggak tau kamu inget ini apa enggak. Tapi, ayah pernah bilang ke kamu sama Gina dulu. Cari laki-laki yang bisa cinta sama kalian melebihi rasa cinta ayah ke kalian."

ORIGAMI GAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang