10. Gajah

464 102 18
                                    

"Pokoknya kamu besok harus ikut ke kebun binatang. Chandra kemarin ngamuk gara-gara kamu nggak dateng ke pesta ulang tahunnya."

Altair yang baru akan menyuap supnya tiba-tiba terhenti. Mengedarkan pandangannya menuju penjuru rumah.

Ia tidak melihat Chandra dimana pun. "Anaknya mana?"

"Lagi main di kamar. Katanya nggak mau keluar kalo Om Al nggak pergi bareng ke kebun binatang besok."

Lelaki itu menghela napas. Setelah acara reuni hari itu, kesibukkannya semakin bertambah. Membuat ia bahkan tidak bisa menghadiri ulang tahun ponakannya itu.

"Nanti habis makan samperin gih." Altair mengangguk mengiyakan, menyelesaikan makannya dengan cepat.

Altair dapat merasakan kursi di depannya di tarik, ia hanya melirik saat Darel menyesap kopi panasnya. Sedetik kemudian, Darel mengernyit seraya menjulurkan lidah karena sensasi panas itu membakar lidahnya. Hal yang membuat Altair menahan tawa.

Saat ia rasa sensasi membakar itu mulai reda, Darel menatap Altair. "Kalo kamu sibuk, nggak usah ikut juga nggak pa-pa, Al. Chandra nanti gampang urusannya."

Senyum tipis hinggap di wajah Altair. Jika diingat-ingat ia jarang bermain dengan Chandra karena kesibukannya. Soal pekerjaan dapat ia pikirkan nanti. "Nggak pa-pa, Bang. Altair besok bisa kok. Aman aja."

Darel manggut-manggut saja. Obrolan mereka berlanjut ke pekerjaan. Tak jarang keduanya mengeluh tentang jam terbang yang sangat tinggi. Tapi juga bersyukur di waktu bersamaan. Terus merembet hingga membicarakan klub sepakbola.

Suara Dinar tiba-tiba menginterupsi. "Kamu kapan mau bawa calon ke Mama? Kemarin Mama nanyain ke Kakak."

Altair mengerjap. "Tapi Mama nggak ada ngomong apa-apa ke Al."

"Mama nelpon?"

Dijawabnya pertanyaan Dinar dengan gelengan. "Enggak, Al yang nelpon. Tapi Mama beneran nggak ada ngomong apa-apa sama Al."

Darel menatap Altair dan Dinar secara bergantian. Topik ini terlalu sensitif untuk di bahas di atas meja makan. Sebenarnya Mama Karina sudah menanyakan hal ini dua bulan yang lalu, Dinar saja yang menahan diri untuk tidak bertanya lebih lanjut.

"Kamu nggak ada deket sama perempuan mana gitu? Lama-lama Mama kenalin kamu sama anak temennya. Kalo udah gitu mana bisa Kakak bantu kamu."

Miris juga menatap Altair yang tidak melangkah maju. Tapi bahkan nama gadis itu tidak pernah luput, selalu tersebut di dalam doa Altair. Setiap harinya.

"Nanti Al omongin ke Mama."

"Sekarang, Altair. Jam terbang kamu itu tinggi. Mana ada waktu buat kayak gitu. Kakak berani taruhan habis dari kebun binatang, kamu bakal sibuk sama email kamu."

Benar yang dikatakan Dinar. Tapi 'kan itu Altair lakukan demi masa depannya. Tabungan nikah dan tabungan hidup. Tidak ia sendiri yang menggunakannya.

"Lewat telpon? Nggak sopan dong, Kak."

"Ya mau gimana? Orang Mama sama Papa juga lagi ke Balikpapan jenguk nenek."

Altair meringis, ia baru ingat jika kedua orang tuanya sedang bertandang ke rumah nenek. "Beneran mau dijodohin emang?"

Dinar menghendikkan bahu, "kata Mama waktu ditelpon kemarin sih gitu."

Segera saja ia merogoh saku celananya, melirik sekilas pada jam dinding. Di Samarinda masih jam 8 malam. Buru-buru menghubungi sang Mama. Awalnya bahas sana bahas sini, setelah Altair rasa cukup, ia menjelaskan maksud utamanya menghubungi Mama Karina.

ORIGAMI GAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang