7. The Few Things

617 119 14
                                    

"Dasar lambung gembel! Liat kerupuk aja bunyi!"

Dylan menggerutu sembari memegang perutnya. Laki-laki itu meraih kerupuk yang tergantung dan membukanya.

Sekolah mereka jarang ada yang membentuk geng-geng seperti di kebanyakan film atau drama. Ada, tapi hanya beberapa. Contoh kecil geng bullying. Namun, kita tidak akan membahas geng itu karena tidak berguna.

Semuanya, berbaur begitu saja. Salah satu alasan mengapa sekolah mereka lebih memilih untuk menggunakan kursi dan meja panjang.

Toh, waktu istirahat mereka singkat. Yang terpenting perut terisi saja. Kadang ada yang memperpanjangnya sendiri. Untuk yang satu itu biarlah menjadi urusan mereka.

Suasana kantin hari itu sama saja. Tidak ada bedanya. Awalnya seperti itu. Hingga saat Jeffry, Altair, Dylan dan Abra memakan bakso mereka dengan khidmat.

Di sebelah mereka, tidak terlalu berjarak, Juan dan Restu mengambil tempat. Empat mangkok bakso dengan empat gelas es teh. Dylan melirik sejenak. Berpikir jika mereka memang memesan porsi lebih untuk di makan sendiri.

Jeffry yang memang kenal dengan keduanya menyapa dan melanjutkan acara makannya. Hingga Restu melambaikan tangannya pada seseorang. Membuat Jeffry kembali melirik dan menyenggol Altair setelahnya.

Sedari tadi Altair hanya diam menikmati bakso miliknya, tidak memperhatikan sekitar jika saja Jeffry tidak menyenggolnya.

"Jar! Tha!" Restu berseru.

Altair menegang di tempatnya. Berdoa dalam hati agar Atha mengambil tempat di sebelah Juan saja. Jelas karena mereka duduk berjarak. Hanya tersisa itu saja sebab di sebelah Juan dan Restu sudah ada yang menempati.

Lagipula kenapa Juan dan Restu tidak merapatkan jarak dengan mereka? Kenapa-- ah, sudahlah. Sudah terlanjur.

Teman Atha yang Altair ketahui bernama Fajar itu mengambil tempat di sebelah Juan. Dan tentu saja Atha di sebelah Restu. Meski tidak terlalu dekat, tetap saja gadis itu berada di sebelah Altair.

Mood makannya telah menguap. Altair menegang di tempat. Abra, Dylan dan Jeffry menahan tawa. Terlebih saat Atha memberi senyum singkat.

Semuanya berjalan normal kecuali jantung Altair. Lelaki itu memilih untuk melanjutkan makannya yang tersisa sedikit. Mencoba menetralisir rasa gugupnya.

Ke empat orang di samping Altair sibuk menghabiskan makanannya seraya bergurau. Membahas beberapa hal yang Altair tidak mengerti jika saja Dylan tidak tiba-tiba bernyanyi.

"Sudah katakan cinta sudah kubilang sayang, Namun kau hanya diam tersenyum kepadaku. Kau buat aku bimbang kau buat aku gelisah. Ingin rasanya kau jadi milikku..."

Orang-orang dikantin melihat Dylan aneh. Ada pula yang tertawa. Namun, bagi Altair saat itu Dylan terlihat benar-benar menyebalkan.

Terlebih melihat Atha yang tertawa saat melihat Dylan bernyanyi seperti itu. Rasanya seperti ia ingin memberitahu Atha jika ia tidak ingin orang-orang melihat Atha tertawa. Ia ingin egois.

Altair melahap makanannya dengan cepat, mencoba terlihat tidak peduli.

Atha itu seperti gravitasi bagi Altair. Sedikit berlebihan, Altair tanpa Atha seperti bintang di langit. Tidak akan dapat menjejak bumi.

Altair selalu menyukai perasaan hangat saat pandangan mereka beradu. Sentuhan-sentuhan yang tidak sengaja mereka lakukan. Ia selalu menyukainya.

Papan tulis putih itu tampak penuh dengan skema yang membahas tentang kerajaan. Lelaki itu menyimak dengan baik jika saja tepukan di bahunya tidak membuyarkan konsentrasi Altair dengan baik.

"Hm?"

"Pulangan nanti main futsal, di tempatnya Rumi. Ntar gue jemput."

Altair mengangguk sebagai jawaban. Ia sudah lama tidak bermain futsal. Lumayan untuk peregangan.

"Tapi nanti kita ngelawan anak kelas 11, Al."

Lagi-lagi Altair mengangguk, lebih tepatnya ia tidak peduli mereka akan bertanding dengan siapa. Toh, di sana juga tidak akan Atha. Untuk apa ia peduli?

Seharusnya begitu. Semuanya tampak lancar jaya. Bel pulang berbunyi, Altair sampai rumah hingga selamat sentosa, mengisi perut, menunggu Abra untuk menjemputnya, sampai tempat tujuan tanpa ada hambatan, menggunakan deker dan segala macam atribut yang ia bawa.

Sebelum akhirnya terpaku pada salah satu kursi panjang di sudut penonton. Altair yakin ia masih menjejak lapangan jika saja ia tidak melihat kehadiran Atha di sana.

Lelaki itu mengerjabkan mata berkali-kali guna memastikan jika ia tidak lihat. Pertandingan belum di mulai, untungnya gadis itu tidak membawa atribut cheers. Bisa malu Altair dibuatnya.

Altair masih menajamkan pandangan hingga dahinya berkerut. Dylan dan Jeffry yang melihat hanya menggelengkan kepala heran.

Orang jika sudah jatuh cinta memang akan lupa dunia. Untuk kasus Altair mungkin sedikit berbeda. Jika sahabatnya yang lain akan melakukan pendekatan dengan cara petrus jakandor-- pepet terus jangan kasih kendor. Maka lain halnya dengan Altair. Lelaki itu bermain lambat dalam urusan hal percintaan, saking lambatnya mungkin siput menang dibuatnya.

"Itu beneran Atha, lo nggak salah lihat."

Abra yang jengah pun akhirnya membenarkan tanpa Altair minta. Lelaki itu memasang deker di lututnya, bersebelahan dengan Altair.

"Harusnya ini jadi kesempatan buat kesekian kalinya lo narik perhatian dia, Al." Dylan sudah menggelengkan kepalanya heran. Makian kasar ala lelaki juga tak mempan untuk membuat Altair tersinggung. Ketiganya jelas bingung.

"Sampai ladang gandum kena ledakan meteor coklat juga Altair nggak akan berani, Dyl."

Si pelaku utama, alias Jeffry yang membuat Altair mengikuti banyak lomba itu sudah gemas sendiri. Mulai dari mengajak Altair ikut berpastisipasi dalam lomba basket seperti beberapa hari lalu, turnamen futsal sekolah, lomba fotografi dan masih banyak lomba lainnya.

Altair jinak saja, mengikuti semua saran dari Jeffry. Tapi ia akan menolak jika saran itu dari Abra, karena saran dari Abra banyak yang tidak masuk akal. Jangan ditanya, Altair saja jika mengingatnya bergidik. Dylan hanya mengompori, pasrah dengan apa yang akan Altair perbuat sebab ia yakin jika memang jodoh tidak akan pergi kemana.

Sebenarnya jika boleh jujur, Altair paling sepakat dengan Dylan.

Altair kembali melirik ke tempat gadis itu berada. Ia tidak sendirian di sana, gadis itu bersama dengan Kiran dan Manda. Kurang satu orang tapi Altair tidak peduli.

Walaupun ia percaya hanya dengan berjalan kaki saja semua mata tertuju padanya, tapi apa salahnya mencoba menarik perhatian Atha? Tentu tidak ada salahnya. Yang salah itu jika Altair tidak mencobanya. Untuk hasil akhir, lagi-lagi ia serahkan pada Tuhan.

Pertandingan di mulai, semuanya berjalan lancar. Altair menggiring bola dengan fokus, seakan tidak menganggap jika Atha berada di sana dan sedang melihatnya. Beberapa kali mencetak angka.

Altair baru akan menendang bola untuk mencetak angka lagi, jika saja seseorang tidak menggagalkannya. Hal yang membuat Altair menjadi salah tendang, dengan si pelaku utama alias Juan-- perebut bola itu terjerembab dengan lutut yang berdarah.

Juan di bawa keluar lapangan. Babak pertama selesai. Mereka akan beristirahat selama 10 menit. Altair membasuh peluhnya menggunakan handuk yang ia bawa.

Sesekali melirik Atha yang tengah mengobati Juan di pinggir lapangan. Gadis itu kadang tertawa lepas, entah apa yang mereka bicarakan. Intinya Altair tidak suka. Lelaki itu mendengus sebal. Tawa Atha sangat menganggunya hari ini.

Jika begitu, harusnya Altair saja yang terjerembab.

⭐⭐⭐

love you💜

ORIGAMI GAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang