GAOS OF CHAOS

81 10 0
                                    

          Itu adalah tamparan dan pukulan terkeras yang pernah ia rasakan. Bahkan sakitnya lebih sakit daripada bekas pukulan pemain lawan yang kini mulai membiru diantara mata dan pelipisnya. Tanpa bicara dan menerima bahwa itu bukan porsinya untuk mengintrupsi sang ayah, ia menurut dan mengikuti, ketika sang ayah menyeretnya keluar lapangan. Tak ada yang ingin diucapkannya, tak ada yang ingin disampaikaanya, Gaos tenggelam dalam pesaraanya sendiri yang cukup ia sembunyikan dalam diamnya yang asing bahasa dan asing isyarat.

          Semua yang melihat hal itu shock dan tak bisa melakukan apa-apa, termasuk Kinara yang raut mukanya kusut, dan matanya yang bewarna madu mengikuti kepergian Gaos yang terlihat sangat menyedihkan. Begitu pula dengan Ahong dan teman-temanya yang lain, mereka terdiam diantara sisa-sisa kekacauan hari itu, merasa tersakiti bahkan tanpa terluka.

          Dan kini Gaos terduduk 1jam lamanya di depan pintu ruang pelatih dalam diam, masih dengan kaus bernomer punggung 9 yang tadi ia kenakan. Diantara peluhnya yang mengering dan debu yang menempel ditubuhnya. Dari luar jelas terdengar perdebatan sengit sang ayah dengan pelatih, juga om Bachri yang kemudian datang dan ikut serta beradu mulut di dalam. Menurutnya itu adalah part paling menyedihkan dalam hidupnya, dan menyakitkan.

          Yang membuatnya semakin menyedihkan adalah, bahwa nasib dan impianya di pertaruhkan di dalam ruang sempit di depan matanya sendiri. Apapun bisa terjadi, dan bila keputusaan itu berakhir dengan barakhirnya ia bermain sepak bola, sejujurnya ia merasa bingung. Apa lagi yang harus ia pegang dan apa yang harus ia kejar, karena selama ini hampir setengah dari hidupnya ia pertaruhkan untuk melakukanya bahkan hingga lelahnya mencapai batas.

          Kemudian, tak lama berselang, pintu gerbang nasib penentuan pun terbuka. Disana berdiri sang ayah yang dengan kesal membuka pintu dan menatap Gaos dengan tajam. Mata bertemu mata, tapi Gaos menyadari tak ada impian apapun dimata sang ayah, kemudian ia berpaling pada pelatihnya dan omnya yag masih terpaku di dalam ruangan. Keduanya tak bicara apapun dan hanya ekspresi penyesalan yang mana membuatnya semakin terpukul. Dan langkahnya semakin berat saat ayahnya menyuruhnya pergi, naik kemobil tanpa berpaling dan menatap lapangan hijau dibalakangya, karena ia tau, bila ia melihat lapangan berumput itu, ia tidak akan sanggup berpisah darinya untuk selamanya.

          Seluruh tim yang saat itu menunggu di dalam ruang ganti, dengan tegang menanti keputusan sang pelatih. Tak ada satupun dari mereka yang bercanda dan hanya bergeming disana dengan penuh harap bahwa teman mereka Gaos masih bisa bermain besok saat pertandingan final dan selamanya.

          Saat pelatih memasuki ruangan tersebut. Mereka semua terperanjat ingin tau. Sepuluh pasang mata dan sepasang mata yang  sedih bertatapan, kemudian pelatih menggeleng dengan perlahan, yang kemudian membuat seisi ruangan itu tertunduk sedih, menyesal dan frustasi. Terlebih bukan karena takut mereka tidak bisa memenangkan pertandingan, tapi karena mereka kehilangan satu bagian dari sekeluruhan bagian mereka, bagian yang selama 2 tahun ini menempel dan ada disamping mereka. Udara di dalam ruangan itu terasa berat dan sesak, hal ini berlaku bagi Ahong sekalipun.

*****
          Sesampainya dirumah Om Bachri, Gaos memasuki kamar yang seharusnya selama 2 tahun ini ia tempati. Kamar kecil itu masih bersih dan rapi seperti pertama  kali ia datang ke Bandung. Lantas dengan lunglai ia membuka kaos bernomor punggung 9 itu, dan meletakanya begitu saja di kursi, menjuntai, kotor dan....penuh kenangan, dan kemenangan yang selalu ia persembahkan untuk timnya.

          Tak lama tangis tanpa suaranya pun pecah, disana di hadapan kenangan yang harus ia tanggalkan untuk selamanya. Dihadapan nomor yang ia harapkan akan terus berada dipunggungya hingga impianya mencapai pertandingan demi pertandingan bergengsi dimasa  depan. Dan sang ayah diluar kamar kecil itu hanya terdiam, mendengar isak yang menyesakan tanpa suara....berharap keputusanya tepat.

*****
          Kinara terpukul saat Ahong menceritakan apa yang terjadi, termasuk keputusan Ayah Gaos terhadap kehidupan sepak bola sahabatnya itu.

          Dengan mendengarnya saja ia tau, bahwa Gaos tentu tidak akan baik-baik saja. Membayangkan Gaos menyembunyikan kegiatanya selama ini, tentu berat bila akhirnya ia harus kehilangan semuanya, terenggut begitu saja tanpa ampun dari tanganya dengan cara yang  sadis.

         Kinara merasa marah, marah sejadi-jadinya. Ia mengepalkan tanganya dengan kencang, ya ia sangat marah...tapi tak tau harus berlari dan menghajar siapa. Terlebih Gaos mengingatkanya akan suatu hal, satu tragedi yang pernah ia alami jauh sebelum ia mengenal Gaos, sebelum ia jatuh  cinta pada sepak bola yang sebenarnya sekaligus ia benci.

          Lalu, tanpa memperdulikan Ahong yang berteriak  padanya, ia berlari kencang. Tanpa menoleh dan juga tanpa bisa dihentikan....mengikuti kata hatinya dan mengikuti langkahnya yang berlari disepanjang lapangan berumput.

syediiiiih pemirsah.....
         

Yume to Ai Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang