SOLITUDE

50 7 6
                                    

Seolah tersambar petir, berkali-kali Kinar menatap mata pria dihadapanya dengan seksama. Seolah ia mencari jawaban lain yang tak keluar atau tanpa suara dari mulut Gaos. Mulutnya tercekat, bahkan sebelum Gaos menjawab pernyataanya tadi. Dan saat diwajah datar Gaos ia tak menemukan jawaban lain, hatinya yang sempat melambung mengkerut seketika, dengan gemuruh yang manyakitkan dan getaran yang menggebu-gebu membuat matanya panas dan gemetar.

Bagaimana bisa, ia dikacaukan oleh suasana malam itu yang dingin dan sialnya sedikit romantis. Bagaimana bisa hanya sebuah perhatian kecil membuatnya tak terkendali dan membuatnya ceroboh. Semua rasanya membuncah keluar tak terkendali dan mengalir begitu saja, padahal selama 2tahun ini ia sangat pandai menyembunyikanya dengan baik. Kinar mengkerjapkan matanya berulang kali, menahan tangisnya yang akan segera keluar, itu adalah perasaanya yang paling emosi dan bagai gelombang penyesalan yang tak terkendali.

Bodoh....kenapa kau Kinar, hanya mendapat perhatian kecil saja dan kau berani-beraninya menganggap lelaki ini menyukaimu juga....Kinar bodoh! Brengsek!!!

Berkali-kali gadis itu mengutuk dirinya sendiri, dalam diam, dalam tatapan nanar matanya yang masih menatap Gaos dihadapanya yang masih mematung dan balas menatap mata madunya dengan tanpa ekspresi. Sedang sepasang mata madu itu mulai berkaca-kaca, dan saat itulah Kinar memalingkan mukanya. Tak ingin Gaos lelaki yang selama ini memenuhi hatinya dan memadati setiap jengkal ruang dihatinya penuh melihatnya lemah dan sedih. Terlebih setelah mendengar kata Maaf dari mulut Gaos, malah semakin membuatnya sakit dan sengsara.

Lantas tanpa pikir panjang dan tanpa pamit, Kinara melangkah, dan mulai berlari menembus dinginya malam, meninggalkan Gaos yang mematung dan bahkan tak menghentikanya untuk pergi dan menghilang dari sana. Dengan kalut, sepatu ketsnya menghantam genangan air yang kemudian menembus kedalam tumitnya yang kedinginan. Ia tak peduli, bahkan sedingin apapun udara malam itu, tak lebih dingin daripada hatinya yang remuk dan hancur.

Dalam sisa-sisa hujan yang menaungi hatinya, ia bersyukur karena setidaknya dipenghujung hujan malam itu, air hujan mampu menyamarkan air matanya. Dan membasahi keseluruhan dirinya yang seolah melebur bersama hujan dan menghilang. Lantas ia berlari kearah rumahnya dan berharap segalanya bisa baik-baik saja, tanpa Gaos yang akan segera ia hapus dari kamus dihatinya.

Segera setelah ia memasuki rumahnya, tanpa melepas sepatu ketsnya dalam keadaanya yang membuncah dan tak terkendali, ia mamasuki kamarnya, menyambar surat pernyataan lulus audisi menyanyinya dan berlari memasuki kamar orang tuanya.

Rumah mereka tidak pernah seriuh dahulu, saat Kakak lelakinya masih hidup. Dan suasana disana tidak pernah hidup seperti sedia kala. Seolah kakaknya membawa mati semua kehidupan dirumah itu sampai liang lahatnya. Dan malam itu dalam kesedihanya yang sangat, ia berharap satu harapanya tidak turut pergi meninggalkanya. Dengan seksama ia memandang kedua orangtuanya, yang kaget oleh keadaanya yang basah kuyup. Seolah Gaos adalah pemicu dari amarahnya, penyulut dari dirinya yang selama ini hanya berdiam diri. Ya, setelah apa yang selama ini disimpan dalam hatinya hancur lebur, ia tak ingin merasakanya dua kali, bila memang harapanya yang lain akan mengecewakanya, maka malam ini ia akan menelanya sekaligus, sekaligus membuatnya hancur seketika tanpa ampun.

'' Aku muak pada kalian, sampai kapan kita akan terus berkabung karena kakak? Sekarang, sudah waktunya kalian hidup dan peduli padaku'' ucap Kinar penuh emosi, dan muak pada semuanya, ia muak pada situasi dan muak pada Gaos terlebih pada dirinya sendiri.
'' Kinar!?'' ucap Ayahnya mendekat dan keheranan.
'' Aku hidup, dan masih hidup untuk menggapai apa yang aku inginkan...aku akan terus maju sekalipun kalian melarangku!'' ucapnya tercekat diantara tangisnya dan harapan terakhirnya. Kedua orang tuanya mendekat dan menyambar secarik kertas ditanganya. Dan membacanya dengan singkat.
'' Kinar...kita bisa bicarakan baik-baik'' ucap sang ayah yang memang tak pernah mendukung apapun kegiatan ia dan kakaknya, selain urusan akademis yang dirasanya sangat penting untung mereka berdua.
'' Aku tak sepintar kakak, dan aku tak akan sanggup meneruskan apa yang Papah harapkan pada Kakak...aku ingin memulai apa yang aku inginkan'' jawabnya tak terkendali, semua yang selama ini ada dikepalanya muntah dan meledak mengotori udara malam itu.
'' Kinar...dengar, tenangkan dirimu dulu'' ibunya menghampiri Kinar.
'' Ya atau tidak'' ucap Kinar tak sabar.

Yume to Ai Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang