(23)

3K 284 6
                                    

"Kamu mau berangkat bareng aku?" Dan gue langsung menggeleng cepat, biar Juna yang berangkat lebih dulu, gue nyusul sama Fara nanti.

"Yaudah kalau gitu aku duluan, kabarin kalau kamu udah disana." Mengangguki, gue ikut mengantarkan Juna sampai pintu depan rumah, begitu mobil Juna udah nggak terlihat, gue masuk dan kembali membaringkan tubuh gue di ranjang.

Sebenernya ada hal yang menganggal dalam pikiran gue sekarang, setelah perdebatan gue sama Juna kemarin di mobil, dia nggak membahas apapun lagi seolah nggak terjadi apapun, apa itu bisa gue abaikan juga?

Harusnya kalau memang permasalahannya belum kelar, Juna akan balik membahas tapi ini enggak, dia diam dan seakan melupakan, gue sendiri juga nggak mau buka topik masalah ini, entahlah, gue nggak ngerasa harus walaupun keadaannya malah kaya ada yang salah begini.

Nggak cuma itu, pertanyaan Juna tentang perasaan gue sekarang juga sama kacaunya, gue nggak mau menyangkal kalau gue masih memikirkan Mas Zian tapi itu juga bukan berarti gue nggak mau merelakan, gue udah ikhlas kalau memang hubungan gue sama Mas Zian begini akhirnya.

Jodoh memang nggak ada yang tahu, gue yang udah pacaran lama, udah tunangan dan udah sampai di hari pernikahan aja bisa batal hitungan jam sebelum akad, Juna sama Julia juga gitu, walaupun berawal dari kesalahan, gue harap mereka berdua punya akhir yang baik.

Mas Zian orang baik dan gue rasa Julia juga orang baik, kenapa gue bisa narik kesimpulan begini? Sekarang coba pikir, perempuan mana yang dengan rela membiarkan laki-laki yang udah merusak dirinya nggak mau bertanggungjawab, dia nggak mau Mas Zian terpaksa, kalau Julia bukan orang baik, dia bisa aja ngadu ke orang tua Mas Zian dan meminta pertanggungjawaban, tapi dia nggak ngelakuin itu.

"Semoga Mas Zian sama Julia bahagia." Gumam gue tulus mendoakan.

.

"Udah siap menuju medan perang?" Pertanyaan Fara yang gue jawab dengan anggukan nggak yakin.

"Apa gue bakalan baik-baik aja disana?" Gue menengadah dengan pemikiran mulai merancang kemungkinan skenario yang bakalan terjadi di tempat acaranya nanti.

"Tenang, andai katapun lo nggak baik-baik aja, tangan gue siap menggiring lo pulang, jangan khawatir." Gue malah makin menatap Fara nggak percaya dengan apa yang barusan gue dengarkan.

"Lo ngomong begitu bukannya bikin tenang malah bikin gue makin panik, kacau lo." Fara tertawa kecil dan memegang kedua bahu gue sekarang.

"Ingat kata-kata gue, posisi lo sama Julia nanti nggak ada bedanya jadi jangan merendah, Julia mungkin baik tapi lo juga baik, Julia mungkin terluka sebelum ini tapi lo yang sekarang juga punya luka sendiri, hidup ini adil, se-simple itu." Gue tersenyum kecil dan menurunkan tangan Fara dari bahu gue.

"Walaupun rada gimana tapi kata-kata lo barusan bagus, ayo jalan." Fara mengacungkan jempol cepat.

.

Sampai di rumah keluarga Juna, gue berdiri mematung dengan pemikiran melayang untuk sesaat, yang gue pikirkan adalah, sebulan yang lalu gue hadir di tempat ini sebagai calon pengantin tapi hari ini gue datang sebagai tamu undangan, hidup memang sekocak itu ternyata.

"Udah jangan bengong, lo nggak kalah cantik hari ini, Kalau Juna liat lo sekarang pasti ngerasa bersyukur juga." Omongan Fara yang dadakan dan nggak nyambung sama sekali, yang gue pikirin apa, yang dibahas sama dia juga apa.

"Lo ngomong apaan elah, mabok angin lo hah?" Tangan gue udah tergepal rapat siap nimpukin kepala Fara sekarang tapi gue tahan karena mengingat dimana kita berdua sekarang, tar nggak ada angin malah gue yang disangka KDRT, kekerasan dalam rumus pertemanan.

"Juna mana? Udah lo kabarinkan? Lama banget perasaan." Dan tangan gue yang tergepal barusan malah beralih nimpuk kepala gue sendiri, gue lupa ngabarin Juna kalau kita berdua udah berangkat dari tadi.

"Gue lupa." Jangan tanya reaksi Fara sekarang, mau protes tapi ditahan karena ingat dimana kita sekarang juga, kadang pencitraan memang sepeting itu.

"Uhhhh, gue gampar juga lo, bener-bener ya, terus yang lo malah begong berdiri kaya gitu ngapain? Hubungin Juna sekarang." Kalau tadi tangan gue yang udah tergepal baik, sekarang malah tangan Fara yang siap melayang ke kepala gue.

"Oh bentar-bentar, gue telfon orangnya." Gue langsung mengeluarkan handphone dan nggak lama panggilannya tersambung, gue cuma ngasih tahu kalau gue sama Fara udah di luar, Juna mengiakan dan panggilannya terputus.

"Bentar lagi orangnya da_"

"Nah itu orangnya dateng." Potong Fara cepat, gue berbalik arah dan gue sama sekali nggak bisa nutupin keterpakuan gue sekarang.

"Kenapa nggak langsung masuk aja?" Tanya Juna begitu menghampiri kita berdua, sesegera mungkin gue kembali mengumpulkan kesadaran sebelum Juna sadar gue perhatikan sampai sebegitunya.

"Juna juga nggak kalah cakep dari mantan calon suami lo kan?" Cicit Fara narik lengan gue pelan, apes banget, gue ketahuan sama Fara lagi, ini lebih parah dari ketahuan sama Juna, beritanya bisa langsung nyebar kena-mana.

"Mulut lo bisa diem nggak? Jangan ember." Gue memperingati.

"Kalian nggak perlu bisik-bisik kaya gitu, gue gantengkan? Udah tahu." Tersenyum tipis, Juna mengulurkan tangannya untuk gue tapi gue lebih memilih menggandeng lengan Fara sekarang, ini jauh lebih aman.

"Ngapain gue yang lo gandeng, udah sana sama Juna aja. gue masuk duluan." Melepas paksa tangan gue dari lengannya, Fara berjalan cepat meninggalakn gue sama Juna lebih dulu, maksudnya apaan coba? Akal-akalannya udah kebaca banget.

"Yakin nggak mau di gandeng? Yaudah." Begitu Juna siap melangkah, gue langsung menggandeng lengannya cepat, jangan tanya senyuman Juna sekarang tapi bodo amat, perasaan gue jauh lebih kacau sekarang.

Melangkah masuk bersama, hal pertama yang gue dapati adalah sambutan hangat dari Mama sama Kak Vanya, mereka secara bergantian memeluk gue erat, tatapan sedihnya Mama terlihat jelas dan gue berusaha untuk terlihat baik, gue nggak mau Mama semakin kepikiran karena melihat keadaan gue sekarang.

"Mama minta maaf sayang, harusnya kamu yang _"

"Ma, aku ikhlas jadi Mama juga harus ikhlas, inikan hari bahagianya Mas Zian jadi Mama nggak boleh sedih-sedih kaya gini." Gue nggak mau Mama terus terus merasa bersalah dan berulang kali minta maaf sama gue, Mama nggak ngelakuin kesalahan apapun.

"Kamu baik Dek? Kata Juna kamu sakit kemarin?" Kali ini Kak Vanya yang mengeluarkan suara.

"Udah jauh lebih Kak, Juna ngelapor ya." Jawab gue melirik Juna sekilas, bukannya membela diri seperti biasa, Juna malah mengabaikan ucapan gue barusan.

"Eh, itu bukannya calon istrinya Zian yang gagal nikah waktu itu ya? Kalau gue jadi dia, gue nggak bakalan dateng, mau dibawa kemana muka gue nanti? Nggak ngerasa malu atau gimana?" Ini adalah beberapa omongan yang mulai gue dengarkan dan harus gue abaikan juga, mereka orang luar dan nggak tahu apapun.

"Kata siapa gagal nikah? Jadi kok nikahannya jadi kalau nggak tahu apapun, nggak usah banyak komentar, mending makan." Balas Kak Vanya yang bikin gue beneran kaget, gue nahan diri tapi Kak Vanya malah ngegas secara ugal-ugalan.

"Jadi nikah? Jadi yang hari ini nikahan Zian sama istri keduanya?" Diladenin lagi.

"Kak, udahlah, nggak perlu ditangggepin." Cicit gue berusaha menenangkan Kak Vanya, gue juga udah natap Juna memelas, apa dia cuma bakalan jadi penonton budiman.

"Juna! Bantuin." Kalau Juna nggak mau Kak Vanya makin emosi dan Mama ikutan naik darah, lebih baik Juna nyari cara sekarang juga.

"Santai, aku bantuin." Juna mengedipkan mata tanda oke.

"Kak? Mbak atau mau di panggil Ibu? Kenalin, ini Kinara, istri saya." Hah? Bantuan macam apa ini?

My Little HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang