(15)

3.3K 281 9
                                    

"Juna kenapa lagi sekarang?" Gue membatin, harusnya dia bahagia, bukannya ini yang dia mau, gue menjauh dan balik sama Mas Zian seperti seharusnya dan setelah gue berhasil, apalagi masalahnya? Aneh.

"Kamu berantem sama Juna? Tumben." Tanya Mas Zian yang juga memperhatikan Juna keluar gitu aja dengan raut wajah susah di jelaskan, udah gitu nutup pintu kasar banget.

"Kapan aku punya waktu untuk berdebat sama Juna? Ketemu aja udah jarang." Jawab gue sedikit gelagapan, ya memang setelah pembicaraan terakhir, gue sama Juna jadi jarang ketemu, ini jarang ketemu karena memang sama-sama sibuk atau memang sama-sama menghindar.

"Kenapa gitu? Sesibuk apa sih calon istri Mas sekarang?" Mas Zian bahkan tertawa kecil menatap gue sekarang.

"Sibuk buanget Mas, sibuk nyiapin mental, kan mau jadi istri Mas." Gue ikut tersenyum lepas.

Bagi gue sekarang yang terpenting adalah hubungan gue sama Mas Zian, hari ini gue beneran bisa mastiin sesuatu, gue nggak bisa ngeliat Mas Zian sakit tapi gue masih bisa menjauh dari Juna, secara nggak langsung gue bisa lebih yakin, diantara mereka berdua sebenernya siapa yang lebih gue pedulikan.

"Kamu nggak harus nyiapin apapun, kamu udah kenal semua keluarga dekat Mas jadi mau nyiapin mental untuk apa, sayang?" Tanya Mas Zian lembut, wah entah kapan terakhir kali gue dengar Mas Zian manggil gue kaya barusan.

"Ya walaupun udah kenal tapi tetap aja bakalan beda Mas, status baru ya tetap bakalan berasa bedanya, Mas sendiri memangnya kalau kita udah nikah nggak akan canggung sama keluarga aku? Nggak akan ngerasa gimana gitu sama Mama." Tanya gue balik, walaupun kenal lama tapi setelah nikah pasti bakalan beda lagi rasanya.

"Mas nggak akan ngerasa canggung atau gimana-gimana, kenapa harus? Malah harusnya Mas lebih nyaman karena mereka beneran udah jadi keluarga Mas juga sekarang, Mas benerkan?" Lah susah memang dijelasin, laki-laki sama perempuan itu memang beda ternyata, perempuan lebih punya banyak persiapan, laki-laki mah terlalu santai kadang-kadang.

"Mas nggak akan paham." Gue malas menjelaskan.

"Pokoknya yang penting Mas harus cepat sehat, mau nikah lebih cepatkan? Yaudah ayo." Mas Zian sama sekali nggak bisa nutupin tawa sumringahnya sekarang.

.

Setelah yakin Mas Zian udah tidur, gue memperbaiki selimut Mas Zian dan keluar dari ruang inap, gue butuh udara segar dan butuh asupan juga, nangis kaya tadi beneran menguras energi ternyata, udah gitu energi gue yang tersisa juga udah nggak banyak, gue udah ada dibatas ambang.

"Mas Zian udah tidur?" Pertanyaan Juna begitu gue nutup pintu ruang inap Mas Zian, gue mengangguk pelan dan berjalan ninggalin Juna yang duduk sendirian di depan kursi tunggu, gue nggak mau terlalu memperdulikan sikap Juna, mau dia menghindar sekalipun juga nggak masalah, begitu memang lebih baik untuk kami berdua.

"Mau kemana? Aku temenin." Dan ternyata Juna nyusulin sembari mensejajarkan langkah bareng gue sekarang, apalagi maunya Juna coba? Dia yang minta gue melupakan dan sekarang malah kenapa dia yang sibuk ngikutin gue?

"Nggak perlu, Kakak bisa sendiri." Tolak gue cepat, gue bahkan nggak natap Juna sama sekali dan sibuk memperhatikan layar handphone, Fara ngabarin kalau dia udah sampai di rumah, dia pamit pulang duluan soalnya.

"Aku temenin, biasanya juga gitukan?" Perasaan gue sedikit lengah begitu Juna ngomong kaya gini, biasanya memang begitu tapi sekarang udah nggak bisakan? Juna nggak mau gue semakin merasa nyaman dan gue paham.

"Kita udah nggak bisa kaya biasanya, kamu lupa? Jangan cari gara-gara, Kakak nggak mau berdebat sama kamu." Jangan nguji gue kalau gue masih bisa nahan diri, kalau gue udah mutusin, Juna jangan coba mancing perasaan gue lagi.

"Kakak menghindar dari aku?" Gue hampir aja jatuh karena tiba-tiba Juna mempercepat langkahnya dan berdiri tepat dihadapan gue, ini anak rada gila atau gimana? Kelakuannya beneran mengurasa energi gue kadang-kadang.

"Bukannya kamu juga?" Helaan nafas gue semakin berat, gue malas meladeni Juna tapi sikapnya sekarang malah sangat mengganggu, gue udah berusaha melupakan rasa nyaman gue tapi kenapa malah dia yang berulah?

"Enggak, aku nggak pernah menghindar, aku pikir Kakak marah sama aku makanya aku_"

"Memangnya kenapa Kakak harus marah hah?" Potong gue cepat, kapan gue marah? Kapan? Gue pikir selama ini cuma gue yang rada gila tapi ternyata gue salah, Juna juga sama rada gilanya, lebih parah malah kayanya.

"Nah bukannya sekarang Kakak lagi marah sama aku? Ngegas gitu suaranya." Pinter banget ngejawab memang dari dulu.

"Kamu bisa berhenti becanda sama Kakak, Kakak tahu kamu menghindar jadi nggak perlu ngasih alasan apapun, sama halnya kamu kenal Kakak, Kakak juga kenal kamu, kita sama-sama tahu masalah kita berdua apa jadi bisa kamu minggir?" Gue laper, tadi datang kemari dadakan dan gue belum makan apapun, mumpung Mas Zian udah tidur, gue makan dulu, kan nggak lucu gue disini ngejagain orang sakit bukannya mau ikutan jatuh sakit.

"Kak! Aku minta maaf." Disaat Juna nahan lengan gue, disaat yang sama gue narik lengan gue gitu aja, Juna minta maaf untuk apalagi? Gue nggak pernah nyalahin dia juga, gue sendiri yang salah.

"Juna! Kamu minta maaf untuk apa? Kamu nggak ada salah dan semuanya udah kita bahaskan? Kakak udah nurutin mau kamu, Kakak menjauh seperti mau kamu jadi tolong, jangan muncul di depan Kakak kaya gini lagi, kaya kata kamu, kita ini cuma calon ipar dan nggak lebih." Dia yang terus ngasih gue peringatan, dia yang terus minta untuk gue sadar, dia mau gue ingat status kita berdua sebenernya apa.

Gue udah menuhin semua yang  dia mau jadi harusnya di seneng, dia harusnya bahagia dan bisa balik sama pilihannya, gue nggak akan ikut campur lagi, gue cuma mau fokus sama Mas Zian, dia masa depan gue jadi kalau gue udah berhasil, jangan bikin gue balik kebingungan dengan sikap Juna yang nggak karuan begini, pekara hati bukan soal gampang di urus.

Mendengar ucapan gue barusan, Juna terdiam sesaat dan gue menjadikan itu kesempatan untuk menjauh, gue melanjutkan langkah gue tanpa ada kata apapun lagi, gue berusaha menghilangkan rasa nyaman gue sekarang jadi harusnya Juna membantu dan ikut menjauh, gue nggak mau meragu untuk perasaan gue sendiri lagi.

"Kak!" Gue menatap Juna kesal sekarang, kenapa susah banget bikin Juna ngerti?

"Apalagi Juna? Kamu_"

"Kalau sekarang aku yang berubah pikiran, kita berdua akan gimana?" Hah?

My Little HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang