(20)

3.5K 274 15
                                    

"Lo kalau mau pulang juga nggak papa, lo juga butuh istirahatkan, makasih udah bantuin ngurus pemakaman Mama." Gue memaksakan sedikit senyuman dihadapan Fara sekarang, gue nggak mau Fara makin khawatir.

"Gimana bisa gue ninggalin lo sendirian disaat kaya gini? Lo juga nggak perlu bersikap sok kuat di depan gue, nggak ada yang ngelarang lo untuk nangis di depan gue sekarang." Air mata gue mengalir gitu aja mendengarkan kalimat Fara barusan.

Beban gue terlalu banyak, gue nggak tahu apa gue bisa bertahan sekarang, satu-satunya alasan gue masih mencoba kuat juga udah nggak ada, lantas gue bertahan untuk siapa? Gue harus bahagia untuk siapa? Mama udah nggak ada.

"Gue gimana tanpa Mama?" Tanya gue terisak.

Tanpa banyak bicara, Fara memeluk gue erat dan ikut menangis bersama, gue beneran akan hidup sendirian sekarang, Mama nggak ada itu artinya satu-satu keluarga yang gue punya ikut ninggalin gue, mereka semua pergi meninggalkan gue lebih dulu.

"Lo punya gue, lo punya Juna sekarang, lo nggak sendirian, gue sama Juna udah janji bakalan ngejagain lo kan, Juna akan selalu ada untuk lo jadi jangan khawatir, gue yakin Juna nggak akan ingkar sama janjinya." Gue percaya kalau Juna nggak akan ingkar janji tapi gue nggak mau kalau Juna melakukannya dengan terpaksa.

"Pokoknya lo bisa nangis sepuasnya sekarang dan setelah ini, lo harus buka lembaran baru, hidup lo harus lebih bahagia." Dan semoga bisa melakukan itu semua.

.

"Jun! Juna! Kenapa masih disini?" Gue nepuk bahu Juna pelan yang memang tidur di sofa kamar gue sekarang.

"Kalau bukan disini, terus aku harus dimana?" Juna balik memberikan gue pertanyaan, ya dimana lagi, harusnya Juna di rumahnya sekarang, dia udah bantu ngurusin pemakaman gue aja gue udah bersyukur banget, gue berterimakasih dan harusnya Juna butuh istirahat.

"Kamu harusnya udah pulang, tamunya juga udah nggak ada, Fara juga udah pulang dari tadi." Keluarga Juna udah pulang dari tadi termasuk Mas Zian, hari bahagia yang Mama maksud malah berubah menjadi hari duka.

"Karena aku tahu Fara udah pulang makanya aku disini, gimana bisa aku pulang dan ninggalin kamu sendirian?" Kalimat yang sama seperti ucapan Fara tadi, satu hal yang gue perhatikan, Juna mengubah panggilannya, tapi gimanapun, Juna juga butuh istirahat.

"Aku nggak papa sendirian, kamu pulang aja, sama kaya Fara, kamu juga butuh istirahat, di rumah juga pasti lagi nggak baik-baik aja." Hari ini bukan cuma duka untuk gue tapi untuk keluarga Juna juga, semuanya kacau balau, bukan cuma malu yang harus kita semua tanggung tapi masalah Mas Zian yang harus bertanggungjawab juga belum selesai.

"Kamu minta aku istirahat terus kamu sendiri gimana? Apa kamu udah istirahat? Kamu udah makan? Belum jugakan? Ya memang di rumah lagi nggak baik-baik aja tapi disana ada Mas Zian sama Kak Vanya yang bakalan nenangin Mama sama Papa." Juna bangkit dan mengusap wajahnya memperhatikan gue.

Gue terdiam dan memperhatikan Juna sekilas, raut wajahnya terlihat sangat lelah, gue mau Juna pulang tapi berdebat sama Juna juga nggak ada gunanya, dia akan tetap dengan pemikirannya sendiri. 

Memperhatikan Juna yang sedang memperhatikan handphonenya, gue mulai bertanya-tanya, apa Juna akan menepati janjinya sesuai permintaan Mama? Atau Juna cuma mengiakan karena nggak mau Mama khawatir, selebihnya dia akan bersikap seperti biasa.

"Kenapa natap aku kaya gitu?" Juna meletakkan handphonenya dan berbalik menatap gue sekarang.

"Jun, soal permintaan Mama, kamu nggak harus berkorban, aku bakalan ngurus semuanya dan aku janji nggak akan mempersulit_"

"Aku nggak mau ngebahas ini, aku juga nggak akan ingkar janji sama Mama jadi berhenti mikir yang nggak penting." Juna mengingatkan, sadar dengan raut wajah serius Juna, gue juga berhenti membicarakan masalah ini, gue akan cari waktu lain kalau keadaannya udah lebih tenang.

"Ayo makan dulu, udah aku siapin." Juna bangkit dan mengulurkan tangannya didapan gue sekarang, bukannya gue sambut tapi gue malah termenung dengan pemikiran gue sendiri.

"Rana! Mama juga nggak mau kamu sakit, kamu harus makan." Ulang Juna masih mengurlurkan tanggannya.

"Aku bisa jalan sendiri." Mengabaikan tangan Juna, gue bangkit dan berjalan ke meja makan lebih dulu, walaupun dengan nafas tercekat dan tangis siap pecah, gue tetap memaksakan makanannya masuk ke mulut gue.

"Setelah makan, ayo langsung istirahat." Dan gue langsung batuk parah.

"Istirahat? Kamu bakalan nginep disini? Untuk apa?" Tanya gue gelagapan, Juna jangan aneh-aneh, gue nggak berniat ngelakuin apapun jadi harusnya dia paham.

"Kamu mikir apa? Aku memang bakalan nginep tapi nggak mungkin sekamar sama kamukan? Disini banyak kamar tamu setahu aku." Juna tersenyum tipis dan gue sendiri nggak berkomentar apapun, gue menghabiskan makanan dengan cepat dan pamit masuk ke kamar lebih dulu.

"Kalau butuh apapun, aku ada di bawah." Teriak Juna sebelum gue menaiki tangga, gue nggak merespon.

Masuk ke kamar, gue langsung membaringkan tubuh gue di ranjang asal, menatap langit kamar dengan pemikiran yang mulai kembali mengingat Mama, air mata gue kembali tumbah, gue berusaha untuk kuat tapi entah kenapa, semuanya terasa berat, hari ini terasa sangat panjang.

"Ma! Maafin aku, aku belum sempat ngebahagiain Mama, aku malah ngecewain Mama, maafin aku." Gue merutuki diri gue sendiri, gue yang salah, seandainya gue nggak berulah, Mama akan baik-baik aja, Mama nggak akan ninggalin gue sendirian kaya gini.

Padahal baru kemarin gue melihat Mama tersenyum bahagia karena hari pernakahan gue udah di depan mata tapi semuanya malah berubah menjadi suara tangisan duka keluarga, nggak akan ada lagi Mama yang ngomelin gue, nggak akan ada lagi Mama yang marahin gue, nggak akan ada lagi Mama yang nungguin gue pula, nggak ada.

Andai gue jujur dari awal mungkin semuanya masih bisa berubah tapi percuma, masa lalu nggak bisa ulang, ini adalah pilihan dan kesalahan gue sendiri, gue mengabaikan rasa sakit Julia makanya gue mendapatkan balasan yang setimpal untuk sikap gue sendiri, gue egois dan ini adalah hasilnya.

"Ma! Maafin aku." Gue memejamkan mata dengan air mata masih mengalir, gue terus menyesali pilihan gue sendiri dan gue menyalahkan keadaan, gue cuma berlarut dengan pemikiran gue sendiri sampai suara langkah kaki seseorang yang menaiki tangga dengan cepat mengusik pendengaran gue sekarang.

"Rana! Kamu nangis?" Gue membuka mata perlahan dan berlaih memperhatikan Juna dari ambang pintu, raut wajah khawatir Juna terlihat jelas.

"Aku gimana tanpa Mama? Aku udah nggak punya siapapun." Tanya gue terisak, melihat keadaan gue sekarang, Juna melangkah cepat dan membawa gue masuk dalam dekapannya.

"Siapa yang bilang kamu sendirian? Kamu punya aku sekarang." Ucap Juna menenangkan.

My Little HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang