(28)

3.1K 352 56
                                    

"Keluarga? Okey, paham." Dari nada bicaranya aja udah bikin gue kasal, tawanya sekarang jelas meremehkan.

"Halo keluarga, salam kenal cantik, sampai ketemu lagi." Dan orangnya pergi gitu aja.

Masih menatap orangnya nggak percaya, dalam hati gue udah menggerutu nggak karuan, tekanan darah gue naik drastis kayanya.

"Orang gila mana nyasar dihadapan gue coba?" Gumam gue sembari menatap Abang Jaz yang ternyata udah menggepalkan jemarinya kuat, tekanan darahnya pasti lebih tinggi dari gue.

"Abang!" Panggilan gue yang membuat tatapan Abang Jaz mulai berubah, yang awalnya terlihat sangat marah berubah lebih sendu.

"Abang nggak papa?" Tanya gue memastikan keadaan Abang Jaz sekali lagi, tatapan sendu bahkan kosongnya beneran bikin khawatir.

"Abang yang harusnya tanya, kamu nggak papa? Maaf Abang jadi melibatkan kamu soal yang tadi." Abang Jaz malah kembali memaksakan senyumannya, melihat keadaan Abang Jazlin sekarang menatap diri gue sendiri di depan cermin, keadaaan gue juga nggak jauh bedanya.

"Abang nggaak perlu minta maaf, aku nggak papa." Gue baik cuma kesal aja.

Gue tahu masalah sahabatnya Abang Jaz yang meninggal tapi gue nggak tahu masalah pacarnya, apa beneran selingkuh? Kalau memang iya, fix dunia beneran ngaco, kenapa selalu orang baik yang diselingkuhi? Why?

Dalam hidup, gue kenal dua laki-laki dengan cukup baik dan kenapa dua-duanya diselingkuhi? Abang Jaz sama Juna senasib banget, eh tapi enggak, Juna lebih parah, kisahnya jauh lebih tragis karena dengan bodohnya Jun mau balikan setelah diselingkuhi dan ditinggal disaat dia lagi terpuruk.

"Ran, Rana, kamu kenapa? Bengong gitu." Abang Jaz nepuk pelan bahu gue.

"Nggak papa Bang cuma lagi kesal aja, kenapa selalu orang baik yang sakit? Dunia rada nggak ngotak, apa karena yang hidup banyak yang sakit makanya jadi error begini? Sistemnya bobrok semua." Tanya gue serius tapi Abang Jaz malah tertawa memperhatikan gue.

"Kenapa malah ketawa? Aku serius Bang." Lihat mata gue, serius banget ini.

"Heum Abang tahu kamu serius makanya Abang nggak bisa nahan tawa, muka kamu lucu soalnya, sorry." Hah? Gue yang nggak bisa berkata-kata sekarang, memang muka gue kenapa? Ada yang anehkah?

"Yaudah ayo Abang anter pulang." Mengangguk setuju, gue masuk ke mobil Abang Jaz dan membiarkan Abangg Jaz fokus dengan kemudinya, paling sesekali gue nyaut kalau Abang nanya sesuatu, suasananya cukup santai sampai kita berdua udah di depan pagar rumah.

"Makasih ya Bang udah nganterin, Abang hati-hati pulangnya." Gue turun dari mobil Abang Jaz dan nunggu sebentar sampai mobil Abang Jaz jalan, setelah yakin udah agak jauh, gue melangkah masuk dan yang menyambut kedatangan gue adalah tatapan menusuk Juna.

"Bukannya tadi keluar sama Kak Fara, kenapa pulangnya malah di anter laki-laki lain?" Tanya Juna dengan sudut padang sangat mengintimidasi, kata laki-laki lainnya aja udah sangat mengganggu.

"Tadi memang sama Fara cuma Fara pulang duluan, ada perlu makanya di anter sama Abang Jaz, Kenalkan? Abangnya Fara." Harusnya Juna kenal, walaupun nggak kenal baik tapi nggak mungkin nggak tahu orangnya yang mana.

"Abang? Ck." Juna tersenyum sinis, apalagi masalahnya sekarang?

"Kenapa lagi sekarang?" Gue mulai ikutan kesal tapi gue tahan.

"Kamu bisa manggil laki-laki lain dengan panggilan yang sangat sopan tapi manggil suami kamu cuma pakai nama." Kalimat Juna terdengar sangat ambigu.

Lagian Juna apa-apaan ngomong begitu? Mau nyindir gue? Untuk apa? Kan dia tahu keadaan kita berdua gimana jadi soal panggilan ya itu udah biasa, denger dia manggil gue cuma pakai nama aja udah aneh jadi harusnya Juna jangan banyak protes.

"Abang Jazlin memang lebih tua terus harus aku panggil apa? Abah." Jangan ngebahas masalah yang nggak perlu, pekara panggilan doang nggak usah diperpanjanng bisakan?

"Jadi kamu mau ngebahas umur sekarang? Ya memang umur aku lebih muda tapi hormat sama suami perlukan? Tahukan?" Nada bicara Juna meninggi dan gue juga mengangguk mengiakan dengan pemikiran yang sudah sangat paham.

"Terus kamu mau aku gimana? Kalau memang kamu ngerasa aku nggak menghargai, aku nggak hormat atau aku apalah, kenapa nggak segera urus perpisahan kita, Dewi juga nggak mungkin kamu gantungin teruskan?" Bukannya ini yang Juna mau? Juna nggak mungkin terus berada diantara gue sama Dewi.

"Kenapa Dewi jadi kamu bawa-bawa lagi? Bukan itu yang kita bahas sekarang." Juna semakin maju mendekat ke arah gue.

"Gimana aku nggak ngomongin Dewi kalau kenyataannya dia memang ada diantara kita berdua, aku nggak mau ngerusak hubungan kamu Dewi, aku tahu gimana berusahannya kamu untuk bisa balikan sama dia." Walaupun aku nggak suka sama Dewi tapi hubungannya dengan Dewi sekarang termasuk baik-baik aja sebelum kedatangan gue.

"Hubungan aku sama Dewi memang udah rusak, apa kamu lupa?" Maksudnya apa? Bukannya mereka udah balikan dan itu artinya hubungan mereka baik-baik aja.

"Makanya ayo urus semuanya baik-baik sebelum makin banyak orang yang terluka karena kita berdua." Ini adalah rencana gue dari awalkan? Gue menikah sama Juna cuma untuk menenangkan Mama dan sekarang Mama udah nggak ada jadi gue rasa, nggak ada alasannya gue mempersulit keadaan Juna kalau memang dia mau bersama Dewi nantinya.

"Jadi cuma itu yang kamu bisa kamu pikirin? Apa nggak bisa kamu sedikit ngerti posisi aku? Ini semua nggak gampang Ran, kasih aku waktu untuk mikir, kasih aku kesempatan untuk ngurus semua." Juna terdengar memohon pengertian, kan memang ini yang gue maksud, urus semuanya segera tapi kenapa kesannya tetap gue yang salah ngomong?

Gue terdiam menatap Juna sekarang, dalam hati gue juga mikir, apa gue nggak pengertian sama Juna selama ini? Apa gue cuma memikirkan diri gue sendiri? Apa gue memang seegois itu? Semuanya juga nggak mudah untuk gue tapi siapa yang peduli?

"Karena aku ngerti posisi kamu makanya aku mau kamu urus perpisahan kita secepat mungkin, kamu nggak akan ada diposisi sulit lagi kaya sekarang." Ini yang gue sarankan, gue nggak mau Juna terjebak dan terus berada di posisi sulit.

"Aku mau nyari solusi yang terbaik untuk kita, aku nggak mau terburu-buru, banyak hal yang harus kita pikirin Ran, pernikahan nggak cuma tentang hubungan kita berdua, kita punya keluarga, apa kamu pikir mereka akan setuju?" Kalau memang ini yang Juna takutkan, gue bisa jelasin ini semua ke keluarga Juna, mereka tahu keadaan gue sama Juna gimana jadi gue yakin mereka akn ngerti dengan alasan gue sama Juna harus berpisah.

"Keluarga kita akan paham." Gue yakin.

"Apa kamu pikir perpisahan urusan gampang?" Nggak ada yang mikir kalau perpisahan itu urusan gampang, siapa yang bisa mikir kaya gitu?

"Nggak gampang tapi tetap harus kita urus jugakan? Mau sampai kapan kamu_"

"Aku nggak pernah bilang kalau aku akan melepaskan kamu." Potong Juna membentak gue.

My Little HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang