PART 35

1.3K 97 10
                                    

Auriga menyadari. Bahwa ia jelas lelaki yang bodoh.

Memeluk Khandra seperti ini bukan hanya memangkas jarak mereka secara fisik, tetapi juga secara emosional.

Ketika tangannya terulur untuk menghapus air mata gadis itu, ia tau, bahwa ia takkan menghapus duka yang telah lama di torehkannya.

Auriga melepaskan pelukan mereka. Merasa bersalah dengan apa yang tengah terjadi.

"Dulu waktu kecil kita sering main di rumah pohon itu ya..." Auriga menunjuk rumah pohon yang sedari tadi sedang di tatapnya tersebut.

"Iya," Khandra menjawab.

Fortuna Sangaji memperhatikan anak dan menantunya itu dari balik kaca di dalam rumah. Tetes air mata, menggenang di kedua bola matanya.

"Aku kasihan sama Khandra, Yah." Ujar Fortuna Sangaji kepada suaminya. "Ia harus melewati keadaan yang berat seperti ini. Sebagai seorang Ibu, aku merasa gagal telah membesarkan Auriga sehingga ia menyakiti istrinya."

"Cinta itu tidak bisa dipaksakan, sayang." Aries Sangaji menjawab. "Auriga mencintai orang lain. Itu kenyataannya... Naasnya, sejak kehilangan Jemima di masa kecil, Khandra memang mengalami masalah psikologis. Ia OCD karena traumanya yang berlebihan pada rumah sakit, sepanjang masa perawatan kanker Ibunya disana ia menjadi gila kebersihan. Ketika beranjak remaja, ia mengalami Bipolar. Dan sekarang amnesia. Gadis itu benar-benar rapuh."

"Itulah... Aku ingin menjaga Khandra agar ia dan bayinya tetap sehat. Aku takut ia melakukan sesuatu, sewaktu-waktu yang akan membuatnya menyakiti dirinya sendiri dan bayinya, Yah."

"Biarkan Khandra memutuskan. Dia berjanji akan membicarakannya dengan Pratama. Dan aku yakin, Pratama tidak akan menolak selagi itu keinginan Khandra."

Fortuna Sangaji terdiam. Ia kembali memperhatikan anak dan menantunya dengan seksama.

"Aku sudah lama tidak naik kesana." Khandra berujar.

"Mau naik kesana?" Tawar Auriga.

"Apakah tidak masalah?"

"Jangan khawatir, Ndra... Bayi dikandunganmu itu benar-benar sehat dan kuat. Bahkan setelah kecelakaan yang menimpamu, ia tetap baik-baik saja."

Auriga bangkit dari duduknya dan meraih tangan Khandra. Ia membantu menuntun Khandra untuk berjalan bersamanya menyusuri halaman menuju rumah pohon di seberang sana.

Khandra mengikutinya.

Auriga mempersilahkan Khandra untuk naik tangga rumah pohon terlebih dahulu. Ia menyusul, agar apapun yang terjadi, ia bisa menahan Khandra dan menyelamatkannya.

Rumah pohon itu memang sudah tidak muat bagi dua orang dewasa seperti mereka. Cukup besar memang, tetapi tidak cukup nyaman untuk waktu yang lama.

Ayah Khandra, Hartawan Izora, membuat rumah itu dengan bahan bangunan terbaik. Tahan lama dan awet sekali.

Khandra masuk dan duduk di dalam. Tidak ada apapun di dalamnya selain jendela-jendela yang menghadap ke tiga penjuru mata angin. Auriga duduk di depan pintu dengan kakinya berada di luar rumah pohon.

"Ga... Ga..." Khandra berucap. "Pemandangan dari sini selalu bagus ya. Tidak pernah berubah."

"Iya, Ndra. Langit terlihat jelas dari tempat ini."

"Nanti kalau anakku lahir, aku akan mengizinkannya main disini bersama teman-temannya." Ujar Khandra. "Kau tidak keberatan kan memberikan markas kita kepada anakku nanti?"

Anak kita, Ndra. Anakmu dan anakku. Anak kita.

"Tentu saja aku tidak keberatan. Aku juga akan sangat senang jika anakmu menyukai tempat ini."

Marrying Mr. SangajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang